Senin, 07 September 2009

Menggadaikan Hutan Untuk Siapa?

Otonomi daerah membuat pemerintah kabupaten gencar mengeluarkan izin kuasa pertambangan dan izin pinjam pakai untuk perkebunan di hutan kawasan. Data Dinas Pertambangan Sultra menunjukkan, tahun 2009 terdapat 278 kuasa pertambangan yang ada di Sultra dan 13 diantaranya berada di hutan kawasan baik hutan lindung maupun hutan produksi.
***
Kebijakan alih fungsi hutan ke industri pertambangan atau perkebunan telah menjadi trand kebijakan di Indonesia. Dipicu munculnya UU Penanaman Modal yang tujuannya mendorong percepatan investasi di Indonesia telah membuka ruang lebar bagi investor untuk menanamkan investasinya, baik dalam sektor sumber daya alam seperti pertambangan maupun industri perkebunan. Pada 2008, SBY mengeluarkan kebijakan alih fungsi hutan lindung dan hutan produksi untuk pertambangan, yang menjadi angin segar bagi investor pertambangan dan kabar buruk bagi keterancaman kawasan hutan di Indonesia.
Bagaimana di daerah? Di Sultra sendiri, Gubernur Sultra, Nur Alam, pernah merencanakan mengubah fungsi 480 ribu ha kawasan lindung di Sulawesi Tenggara menjadi tambang Nikel dan Emas. Kawasan ini tersebar di kabupaten Konawee Utara dan Selatan, Kolaka, Bombana dan Buton, termasuk Taman Wisata laut Pada Marang dan Lasolo/Pulau Bahubulu dan Tirta Rimba. Dan sampai saat ini belum ada informasi apakah kebijakan tersebut mendapat restu dari Menteri Kehutanan.
Lebih parah lagi, otonomi daerah telah membuat pemerintah kabupaten dengan gencar mengeluarkan izin kuasa pertambangan dan izin pinjam pakai untuk perkebunan di hutan kawasan. Berdasarkan data Dinas Pertambangan Sultra, di tahun 2009 saja telah terdapat 278 kuasa pertambangan yang ada di Sultra dan 13 diantaranya berada di hutan kawasan baik hutan lindung maupun hutan produksi.
Pertanyaannya adalah, mengapa pemerintah getol mengeluarkan kebijakan yang mengurangi luasan kawasan hutan yang sangat berarti bagi keberlangsungan masyarakat, hanya demi kepentingan investasi?
Jawaban yang sering dikemukakan adalah untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pertanyaannya kemudian, seberapa besar hasil pendapatan yang diperoleh dari hasil menggadaikan hutan yang dialokasikan untuk kepentingan masyarakat? Untuk pendidikan, kesehatan, pembangunan sektor pertanian, sarana dan prasarana miskin kota, dan sebagainya?
Apakah tak perpikirkan bahwa dengan mengurangi luasan hutan, juga berarti bahwa daerah kita semakin dekat dengan resiko bencana alam, krisis air dan pangan, yang jika itu terjadi, berapa besar biaya yang dikeluarkan untuk membenahi krisis tersebut. Lihat saja di Kab. Konawe Utara, begitu banyak izin kuasa pertambangan,bahkan kontrak karya dan izin perkebunan di atas hutan kawasan, namun pembangunan di kabupaten tersebut masih jauh tertinggal. Begitu pula dengan kesejahteraan masyarakatnya, bahkan telah terjadi dua kali banjir besar yang membawa kerugian yang tak ternilai.
Di Bombana, selain izin kuasa pertambangan di pulau Kabaena dan pertambangan emas Bombana, apakah ada kemajuan yang signifikan dengan pertambahan pendapatan daerah dari investasi pertambangan tersebut? Justru yang nampak adanya tanda-tanda kerusakan ekologis yang merugikan masyarakat di sekitarnya.
Jika pemerintah mempunyai pandangan bahwa kerusakan hutan justru akan membawa kerugian daerah, tentu kebijakan yang mengurangi dan menghancurkan hutan kawasan tidak akan segencar seperti sekarang ini. Pertanyannya, untuk kepentingan siapakah hutan kita digadaikan?

Oleh : Sus Yanti Kamil, Kendari-Sulawesi Tenggara.

Sumber; www.jatam.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut

Entri Populer