Minggu, 14 November 2010

Story About Sawerigading

Dian Cahyadi


Pada suatu ketika I Dio' terserang penyakit gagu. Berkata sahibul hikayat, sudah tiga tahun lamanya I Dio' mengidap penyakit tadi. Berdatanganlah seluruh dukun untuk mengobatinya, namun tidak ada perubahan apa-apa. Telah berdatangan pula segenap Bissu untuk mengupayakan penyembuhannya. Berkatalah Puang Matowa (Penasehat Raja) :

"Tiada nian obat yang akan mempan menyembuhkan anada I Dio', kecuali diadakan upacara selamatan sebagaimana halnya yang penah dilakukan atas diri baginda Bissu Rilangi, We Tenriabeng di Luwu".

Kemudian Puang Matowa menambahkan kata-katanya:

"Apabila tdak segera diadakan persiapan yang diperlukan, lalu diadakan upacara selamatan menurut yang pernah dilakukan atas diri We Tenriabeng, pada akhirnya nyawa anakda Tenridio' akan melayang. Tanaman tidak akan tumbuh subur, panen pun akan gagal, dan rakyat pun akan mengalami kesusahan yang amat besar."



Betapa dukacitanya Sawerigading. BAginda pun jadi bingung memikirkan hal itu, sebab upacara selamatan hanya bisa terlaksana sebagaimana mestinya, apabila disertai peralatan khusus berupa 'Genrang 'mpulaweng ri Luwu', sedangkan 'Gendrang tersebut tidak dapat didatangkan kecuali apabila keturunan Sang Manurung ri Luwu yang mengantarkannya.

Sawerigading merasa amat bingung. Beliau sendiri yang akan kembali ke Luwu menjemput, namun mustahil dilakukan karena belai pernah bersumpah tidak akan ke luwu dan menginjakkan kakinya lagi di tanah luwu
...Kalaupun I Lagaligo yang berlayar, maka ibunya I We Cudai tidak akan memperkenankan puteranya melakukan hal itu, sebab katanya negeri Luwu itu terletak di ujung bumi, apalagi sawerigading (So' We Ri Gading) punya hutng darah yang cukup banyak kepada sesama raja. Jangan sampai puteranda karam, menjadi santapan binatang buas yang bertahta di lautan. Berkatalah Sawerigading : "Takkan ada seorangpun yang brani berbuat demikian wahai adinda Cu Dai. Kendatipun mereka memiliki 2 tubuh, berkepala tiga namun takkan lancang untuk menurunkan tangan maut kepada turunan Sang Manurung di Tanah Luwu. Apalagi binatang buas yang bertahta, menguasai samudera nan luas."



Daeng Ri Sompa menjawab perkataan suaminya :"Apapun alasan Kakanda Opunna Ware! Nmun adinda tidak akan memperkenannkan putra kita mengarungi samudera untuk menjemput Genrang 'mpulaweng ri Luwu."



I WeCudai menmbahkan perkataanya : "Apa gerangan kiranya sehingga kakanda tidak berusaha menitahkan agar dibuatkan Genrang 'mpulaweng untuk mengobati We Tenridio'."



Sawerigading menjawab perkataan isterinya : "Wahai dinda Cudai! Menurut dugaan kakanda meskipun seluruh emas yang ada ditanah Ugi ini dikumpulkan, namun tidak akan cukup untuk bahan pembuatan sebuah genrang 'mpulaweng. Bayangkan saja, Genrang 'Mpulaweng yang ada di Luwu mempunyai 70 utas tali pengikatnya, seluruhnya emas murni. Demikian pula Gong Genrang 'Mpulaweng, ada sebanyak 70 utas tali gantungannya. Semua itu terbuat dari emas murni. Dari manalah akan diperoleh emas yang demikian banyaknya di negeri Cina ini?"



MAka menangislah Sawerigading sambil berkata: "Suratan nasibmu jualah ananda We Dio', karena telah dilahirkan dinegeri yang miskin seperti Cina ini. Sekiranya engkau lahir di Luwu maka tidak ada sesuatu keperluan yang tidak tersedia."

Putus asalah Sawerigading mengenang penyakit puterinya.



Menyahutlah I Lagaligo: "Ada persoalan apakah, sehingga kulihat baginda Opunna Ware (Sawerigading) termenung-mneung, seolah-olah amat rawan."



La PAllajareng menjawab : "Rupanya dikau belum tahu wahai adinda Galigo, perihal kerawanan hati yang amat besar bagi Paduka yang Mulia Opunna Ware, Sudah tiga tahun lamanya adik kita We TenriDio' mengidap penyakit gagu. Menurut Puwang Matowa (Ketua Bissu), penyakit itu disebabkan karena tidak dilakukannya upacara tradisional sebagaimana halnya ang dilakukan atas diri baginda putri Bissu Ri LAngi (gelar/panggilan Tenriabeng) di Luwu. NAmun upaara tidak dapat dilakukan jika tidak disertai genrang 'mpulaweng serta gong mpulaweng ri Luwu. PAdahal tidak dpat didatangkan jika dihantarkan oleh keturunan lsg Sang MAnurung."

Belum leps La pallajareng berkata-kata, bergegaslah La Galigo menemui ayahandanya yang sedang bermuram, lalu berkata: "Janganlah hendaknya ayahanda berduka cita karena mengenangkan soal pelayaran ke Luwu, untuk menjemput Genrang 'Mpulaweng. Biarkanlah ananda yang berangkat mengarungi lautan, kendati ibunda tidak akan memberi restu. Ananda akan tetap melakukan pelayaran itu."



Bersuka citalah Opunna Ware mendengar pernyataan putranya, lalu beliau berkata: "Kalu demikian maka berangkatla dikau wahai anada GAligo, ajaklah bersama Pamandamu La PAnanrang dan La Massaguni, sebagai jaminan agar orang-orang di Luwu yakin dan percaya atas dirimu. Jangan sampai kelak engkau tiba di Luwu sedangkan BAginda tidak percaya atas dirimu sehingga beliau tidak sudi menyerahkan Genrang 'Mulaweng Manurungnge itu. Bawalah berlayar Welenrangnge (kapal Sawerigading)."....."Kelak jikalau engkau selamat tiba di Luwu, sembunyikanlah kehadiran pamanmu La Pananrang dan La massaguni. Maka hadapilah kakekmu, ayahanda dari pamanmu La Pananrang dan La Massaguni."



Lanjut Sawerigading berkata:

"Wahai anada GAligo. Ada sebanyak 70 orang ibu tirimu yang bermukim di Luwu. Datangilah mereka satu persatu secara bergiliran. Tinggallah selama lima hari lima malam pada masing-masing ibumu, kecuali di rumah ibu tirimu We Panangareng, tinggallah selama sepulu hari sepuluh malam. Upayakanlah wahai ananda Galigo, tidak tinggal lebih dari setahun, lalu kembali ke Cina, dengan membawa Genrang 'mpulaweng manurungnge di Luwu."



Sesuai dengan kesepakatan, maka berangkatlah La Galigo keesokan harinya bersama kedua pamannya dan segenap sepupu-sepupunya.

Maka bertolaklah Welenrangnge menuju tanah Luwu. Dayung tak kunjung diletakkan, juru balang silih berganti menjalankan tugas, demikian pula juru mudi tetap waspada enghadapi gelombang dan onggolan pasir (dangkal).



MAka tibalah perahu-perahu emas La Galigo di wilayah tangkapan para nelayan. I Lagaligo pun bermaksud memasukkan bahteranya ke muara sungai luas dan lebar itu. Berkatalah I Lagaligo kepada para penjaga muara.

"Mengapa gerangan pintu gerbang muara ditutup? Sayapun tidak melihat adanya ayam-ayam jago berkeliaran?"

Lalu dijawab ole para penjaga muara dengan telpak tangan disimpuhkan:

"Rakyat Ale' Luwu ini sedang berkabung, wahai paduka, dan tidak diperkenankan wahai paduka, orang yang datang membawa ayam jago di Wattangpare."



Berkaalah I Lagaligo:

"Bukalah lang gerbang muara yang luas ini, agar bahteraku dapat lewat dan masuk ke pelabuhan. Akupun berniat naik kedarat sambil membawa ayam jago di Tanah Luwu, untuk meamaikan kembali gelanggang emasnya Opunna Ware dengan enyabung ayam di arenanya."



Penjaga muara sungai kemudian merangkapkan kedua tangannya sambil menyembah, lalu berkata:

"Hamba mohonkan wahai paduka untuk tidak membuka palang muara sungai yang luas ini. Hamba takut wahai paduka, terhadap tuan hamba Sang Manurung ri Ale Luwu (BAginda raja Luwu/ BAtara Lattu).



Maka murkalah La Galigo. Beliau kemudian berdiri sambil menudingkan telujukknya, memberi perintah agar dibukakan palang muara. Maka serentak orang-orang Luwu membukakan palang sungai yang luas itu. Maka lewatlah Sang Welenrangnge sampai ke pelabuhan, membuang sauh digulungkanlah pula kain layarnya Wakkawerowe. Tidak lama sesudah itu datanglah ayah kandung La Pananrang beriringan dengan ayah kandung La Massaguni. Sementara itu La PAnanrang dan La Massaguni pun disembunyikan diatas perahu. MAka berdirilah La Pangoriseng bersaudara didekat Welenrangnge, sambil menyahut:

"Maafkalah ketidak tahuan kami wahai para bocah (lagaligo dan rombongannya). Dari mana gerangan ngeri asalmu, dimana tanah tumpah darahmu, apa maksud dan tujuan kalian datang ke Luwu ini.

Tidakkah kalian mengetahui bahwa rakyat di seluruh negeri Luwu ini sedang berduka cita, sudah sekian tahun lamanya paduka yang dipertuan di Kerajaan Luwu pergi merantau meninggalkan negerinya, sudah sekian lamnya pula gelanggang adu ayam tinggal kosong, sepi tanpa ada kegiatan adu ayam. Sekian pulalah....lamanya ayam-ayam jago berbuluh putih dikesumba."



La GAligo membalas dan merucap:

"JAuh amat nian negeri asalku. PAtik bernama La PAbokori (Siperantau) bergelar ToSibengngareng (Heran), putera Lapura Elo di MArapettang (entah berantah). MAksud dan tujuan patik berlayar di Wattangpare, tiada lain ingin menyabung ayam, sekedar meramaikan gelanggang adu ayam."



LA PAngoriseng menjawab dan berkata:

"Apakah tuan merasa sebagai Paduka yang dipertuan di Luwu, ataukah tuan telah menaklukkan wilayah kami seingga tuan ingin memaksakan kehendak sendiri. Walaupun saat ini negeri Luwu sedang dilanda kemelut, penduduk pun sedang berdka-cita, namun patik tidak bakal membiarkan tuan memaksakan kehendak tuan, tanpa mengadu senjata, mengadu perisai, dan mempertarungkan laskar kita"



Menyahutlah I LAgaligo sambil berkata:

"Engkau rela mati wahai La Pangoriseng ataupun tidak rela wahai ayahandanya La Pananrang, namun aku takkan kembali ke negeriku sebelum menjejakkan kaki di tanah Luwu, untuk meramaikan kembali gelanggang gadingnya Sawerigading dengan sabung ayam."



Tercekatlah perasaan hati La Pangoriseng menyaksikan Sang Bocah itu. Ia pun sangat mirip dengan Sawerigading dimasa remajanya. Bocah disebelah kananya mirip sekali dengan La Pananrang, sedangkan yang disisi kirinya mirip sekali dengan La Massaguni. Ia pun mengenal semua nama La Pangoriseng bersaudara, serta para bangsawan tinggi.

Terbetik dihati Pangoriseng bahwa besar dugaanku sang bocah adalah putranya LaMaddukelleng diperantauan, yang akan datang kenegeri Luwu tanpa ingin dikenal. Lalu La Pangoriseng mengulangi ucapannya:

Wahai Raja muda. Mohon kiranya sudilah paduka mengutarakan hal yang sebenarnya. Sebutkanlah nama paduka, serta nama orang tua paduka. Kemudian paduka naik kedaratan, ramaikanlah gelanggang dengan sabung ayam di pendopo."



Ketika itu La Pananrang dan La MAssaguni menampakkan diri sambil berkata:

"Wahai ananda Galigo, janganlah hendaknya anada terlalu lama mempermainkan kakekmu, sebab perjalananmu ini amat tergesa-gesa, bahkan kita tidak boleh berlama-lama di Luwu.



Betapa sukacitanya perasaan hati La Pangoriseng bersaudara ketika dilihatnya putra-putra mereka. Beliau pun segera meloncat keatas perahu La Welenrangnge; lalu dirangkulnya I La Galigo dan diciuminya wajahnya sambil berkata:

"Wahai ananda GAligo, janganlah dikau buru-buru mendarat ditanah Luwu, sebelum kakek mengadakan upacara selamatan. Tinggallah sebentar di atas perahu, semntara aku naik ke daratan mempersiapkan jamuan. Nantikanlah sampai seluruh rakyat Luwu datang menjemput, barulah dikau turun menjejakkan kaki di Bumi Wattangmpare. Kakekpun akan mempersembahkan sesajian berupa kerbau bertanduk emas."

Sesudah mengadakan pembicaraan dengan cucu saudari saudaranya (cucu dari Batara Lattu yaiu sodaranya La Pangoriseng) maka La PAngoriseng bersaudara menuju istana Lakko Manurungnge ri Ale Luwu. Diperintahkannya kepada segenap rakyat, untuk berkumpul di depan istana. Setelah seluruhnya berkumpul, mereka kemudian bersama-sama berangkat menuju pelabuhan menjemput paduka yang dipertuan (I Lagaligo) untuk mendarat, menjejakkan kaki dipusat Kerajaan Luwu.



Namanya titah Raja, perintah Sang Penguasa maka dalam sekejap mata saja terlaksanalah seluru titah baginda La Pangoriseng. Berdatanganlah segenap rakyat di negeri Luwu, memenuhi halaman istana raja Luwu.

Rakyat banyak itu riuh rendah, karena bersuka cita atas kedatangan Baginda Yang Mulia yang sebentar lagu akan dijemput dipelabuhan.



Timbullah kembali semangat hidup rakyat luwu, karena datangnya putra mahkota (I La Galigo) Opunna Ware. Lalu berangkatlah I La Galigo sampai ke istana Lakko Manurungnge Mai ri Luwu. Setelah tiba dilihatnya jamuan lengkap, ditunggui oleh puluhan dayang-dayang. Bertanyalah I La Galigo :

"Apa gerangan yang telah terjadi wahai para dayang-dayang, sehingga di sini tersedia jamuan lengkap yang kalian tunggui, padahal tidak ada raja yang duduk dihadapan kalian ?"



Para dayang-dayang lalu menjawab:

"Santapan sehari-hari wahai Paduka yang mulia untuk Baginda (Sawerigading) yang pergi berlayar, mengasingkan dirinya dinegeri yang jauh. Seorang pula yang telah gaib, melayang naik ke Botting-Langi' (Tenriabeng, adik kembar Sawerigading), menemukan jodoh di Ruwa Lette. Beliaulah yang disiapkan santapannya."



Berkata I La Galigo:

"Kumpulkan segenap dayang-dayang ini wahai Ina! Janganlah kalian menunggui jamuan, padahal di hadapan kalian tidak ada seorangpun raja yang bersantap."



Sesudah itu I La Galigo meneruskan langkahnya hingga ke ruangan tempat penyimpanan Genrang mpulaweng Manurungnge Mai ri Luwu. Lalu diraihnya Genrang itu, kemudian ditabuhnya bersama-sama dengan La Sulolipu, suara

genrangnya bertalu-talu. Tak ubahnya bunyi genrang apabila Sawerigading yang menabuh bersama La Pananrang.



Maka bangkitlah Sawerigading di tepat tidurnya, sembari berkata:

"Telah tiba wahai adinda Cudai, putramu di Luwu. Kanda dapat mendengarkan bunyi gendangnya sampai kemari."



Batara Lattu' pun menggeliat diatas pembaringannya sambil berkata:

"Telah tiba nian putranda di Luwu, bermukim di tanah leluhurnya Wattang mpare sambil menabuh genrang mpluaweng manurungnge, bersama-sama La Pananrang."



Berkatalah sang pengiring/pengawal Batara Lattu sambil menghaturkan sembah sujud:

"Konon kabarnya wahai Paduka yang mulia! Dia adalah putranda dari ananda Sawerigading yang berbalasan dengan putranya La Pananrang menabuh genderang di luar."



Batara Lattu, berkata:

"Suruhlah ia masuk ke dalam kamarku, agar aku bertutur sapa dengan bocah itu."



Maka berjalanlah I Lagaligo memasuki kamar kakeknya, Batara Lattu. Iapun menghaturkan sembah sujud sebanyak tiga kali, kemudian mengambil tempat duduk dihadapan Batara Lattu. Berkatalah Batara Lattu:

"Tinggallah dikau di Luwu wahai ananda Galigo, menemaniku, selaku oenggati ayahandamu sebagai Pangeran Mahkota di ibu kota kerajaan Luwu."



I La Galigo menghaturkan sembah sujud sambil berkta:

"Tapak tangan hamba hanya sekedar gumpalan darah, tenggorokan hamba pun tak ubahnya kulit bawang. Semoga nian hamba tidak kualat dalam menjawab titah paduka."



lanjut La Galigo:

"Mohon restu paduka yang mulia. Hamba tidak dapat tinggal menetap di Luwu ini, sebab adinda We Tenridio' sedang terserang penyakit parah. Ia mengidap penyakit yang menuntut diadakannya upacara tradisi di negeri Luwu, sebagaimana halnya yang pernah dilakukan bagi Baginda Ratu yang mulia, Mallajangnge ri Kalempi'na. Demikianlah waha Paduka yang mulia, sehingga ayahanda tercinta Opunna Ware menitahkan hamba untuk menjemput Genrang mpulaweng anurungngE di Luwu ini."



Berkatalah Batara Lattu:

"Kalaupun demikian berangkatlah ke tanah Ugi wahai ananda Galigo untuk mengantarkan Genrang pluaweng ManurungngE. Kelak, setelah selesai penyelenggaraan upacara selamatan bagi We Dio', kembalilah kemari, untuk menggantikan ayahandamu sebagai penguasa di Wattang mpare."



Sesudah selesai bertutur sapa dengan kakeknya, I Lagaligo pun melangkah ke luar. Berkisar satu tahun lamanya I Lagaligo tinggal di Luwu menunggui kakek dan ibu-ibu tirinya, barulah I Lagaligo bersama segenap sepupunya dan seluruh pengiringnya berlayar kembali menuju Cina. Diboyonglah Genrang mpulaweng ManurungngE ri Luw bersamanya.



Upacara selamaan We Dio' pun diselenggarakan. Sudah empat puluh hari empat puluh malam lamanya penduduk bergembira ria di Latanete sambil memanggang kerbau. Berdatanganlah segenap sepupu I Lagaligo yang perempuan untuk menyaksikan keramaian di Latanete.



Pendopo penuh sesak dengan penduduk yang berdatanagan dari seganap penjuru. Tiada terkatakan ramainya suasana di Cina. Para anak-anak Datu yang tujuh puluh orang itu saling bergantian menabuh genderang, sehingga bunyinya pun bertalu-talu tiada hentinya. Tiada sekejappun genderang itu berhenti ditabuh silih berganti. I Lagaligo berpasangan dengan I La Sulolipu, La Pawennari dengan Sida'Manasa To Bulo'E, La Patenrongi dengan I La Pallajareng, dan berpasanganlah La Tenripale To Lamuru'E dengan La Pammusureng.



Para anak datu yang tujuh puluh orang itu tidak kunjung terlelap. Ingin pulalah I Da'Batangeng, Punna Lipu'E Cina Rilau, puteri La Makkasau menyaksikan keramaian di Latanete, maka bertitahlah ibundanya:

"Wahai anada I Da'Batangeng! Janganlah hendaknya ananda berkunjung ke Cina, hanya untuk menyaksikan keramaian di Latanete/Sinukkerenna I La Galigo/dari Luwu/Cobo'-cobonna maccariwakka I La Semmaga, tidak menyegani sesamanya raja, dianggapnya bahwa hanya dirinyalah raja yang berkuasa di kolong langit. Jangan sampai ditahannya usungan tumpanganmu dan tidak dibiarkannya dikau pulang kembali ke negerimu Cina Rilau."



Berkatalah La Makkasau, ayahanda I Da'Batangeng, bahwa:

"Mengapakah gerangan wahai ibundanya I Da'Batangeng, maka dikau tidak memperkenankan keinginan putrimu pergi ke Cina, untuk menyaksikan keramaian di Latanete."



Berkata pula Punna Lipu'E Cina Rilau (La MAkkasau):

"Kalaupun ternyata usungannya ditahan I La Galigo pakah salahnya jikalau ia dijodohkan dengan sepupunya itu. Biarlah putri kita pergi ke Cina, menyaksikan keramaian di Latanete."



Maka berdandanlah I Da'Batangeng, bersalin pakaian yang indah lalu berangkatlah menuju Cina untuk menyaksikan keramaian di Latanete. Hanya dalam sekejap saja maka tibalah usungan yang membawa I Da'Batangeng. Ia lalu turun di depan istana. Ketika itu I La Galigo sedang mengadu ayam di atas arena adu ayam.

Ketika La Galigo menoleh, dilihatnya sepupunya yang sedang turun dari usungan, lalu melangkahkan kaki naik ke istana. Berkatalah La Galigo:

"Siapakah gerangan putri mahkota nan cantik jelita yang barusan tadi tiba dengan usungan ?"



La Pallajareng, menyahut:

"Rupanya dinda Galigo tidak mengenal sepupu kita Punna Lipu'E Cina Rilau. Ia bernama I Da'Batangeng, puteri Baginda La Makkasau."



Serta merta I La Galigo mencampakkan ayam jagonya lalu bergegas melangkah ke istana untuk menyusul I Da'Batangeng. La Galigo langsung menuju ke atas pelaminan (lamming) menabuh genderang, berpasangan dengan La Sulolipu. Tabuhan genderangnya berbunyi seperti suara manusia:

"Dahului-dahuluilah si orang Walana itu. Cegat, cegatlah si orang Solo'. Dahuluilah bersanding di atas pelaminan emas. Sungguh takkan kubiarkan Punna Lipu'E Cina Rilau kebali kenegerinya. Saya berkeinginan menyandera usungan putri juwita dari Cina Rilau."



Bergantian pamandanya menasehati La Galigo, demikian pula ayahandanya turut menasehatkan, bahwa:

"Janganlah wahai ananda Semmagga engkau menyandera usungan dari Cina Rilau. Jangan sampai hal itu menurunkan martabat pamndamu La Makkasau. Jikalau susungan putrinya tersandera. Biarkalah sepupumu itu kembali ke kampung halamannya."



I La Galigo tidak sudi mendengarkan nasehat ayahnya, lalu berkata:

"Perkenankanlah wahai ayahanda adindaku I Da'batangeng tetap tinggal di istana Latanete, sementara itu ayahanda mengirimkan utusan untuk meminangnya pada baginda La Makkasau di Cina Rilau."



Berbalaslah Sawerigading:

"Mengapakah gerangan wahai ananda Galigo engkau berkeinginan menyandera usungan dari Cina Rilau, padahal kita tidak menguasai wilayah kekuasaan pamandamu. Kita tidak dapat memaksakan kehendak sendiri terhadapnya."



Namun I La Galigo sudah lupa diri, tidak sudi lagi mendengarkan nasehat.





Insya Allah pula akan say ceritakan cerita Tellu Cappa'E na La Madukkelleng Arung Pasir - Arung Siengkaang penguasa To Masi' (Temasek) Sang Penguasa Laut Cina Selatan (Singa Laut alias The Prince of Pirates).


Maka pada waktu tengah malam buta, I Da'batangeng diantarkan pulang ke kampung halamannya di cina rilau.

Pada keesokan paginya, ketika sang surya baru saja terbit di ufuk timur, bangunlah La Galigo bersepupu langsung membasuh muka lalu menenangkan perasaan hatinya sambil makan sirih. Diarahkanlah pandangan matanya ke atas pelaminan yang diduduki I Da'batangeng, maka iapun terkejut karena tidak dilihatnya bayangan sepupunya Punna LipuE Cina Rilau. Ia lalu bertanya:

"Kemanakah gerangan adindaku I Da'batangeng?"



Lalu dijawab oleh La Pallajareng :

"Adik kita I Da'batangeng telah kembali ke kampung halamannya di Cina Rilau pada larut malam."



Maka bergegaslah I La Galigo menyusul kepergian adik sepupunya sampai ke Cina Rilau. Turut serta segenap anak datu yang tujuh puluh orang itu.



Berkatalah La Makkasau:

“Maafkalah pamanda wahai ananda Galigo. Kembalilah ke Latanete, agar ayahandamu mengajukan pinangan resmi atas sepupumu I Da’batangeng. Barulah kita ramaikan perjodohanmu.”



Dibalaslah oleh Galigo:

“Perkenankalah ananda untuk tidak kembali lagi ke Latanete. Biarkanlah ananda tinggal di singgasana kediaman adinda I Da’batangeng, sementara menantikan kedatangan duta/utusan resmi dari ayahanda Opunna Ware. Nantilah di sini, di atas singgasanamu hamba mempersiapkan diri untuk menikah serta bersanding dengan adinda I Da’batangeng.”



Silih berganti paman-paman I La Galigo dating menasehatinya. Namun semuanya sia-sia. I La Galigo tidak sudi lagi mendengarkan petuah ataupun kata-kata lembut dan bujuk rayu. Bingunglah pikiran Sawerigading mengingat tindakan putranya yang terlanjur itu.



Maka diantarkanlah kepada I La Galigo pakaian pengantinnya di Cina Rilau. Di sana pulalah, di istana kediaman I Da’batangeng, La Galigo mempersiapkan diri untuk menikah. Maka ia pun duduk bersanding dengan sepupunya di atas pelaminan.



Syahdan, maka tiga bulan lamanya setelah ia kawin, maka hamillah I Da’batangeng. Jabang bayi dalam kandungan. I Da’batangeng ketagihan pada penyelenggaraan tradisi leluhur di Ale Luwu. Namun sang dukun tidak segera menyelenggarakan, sehingga jabang bayi itu gaib bersamaan dengan datangnya petir dan kilat yang sambung-menyambung. Jabang bayipun terdampar di Sao Kutt Pareppa’E, istana kediaman Baginda Ratu We Tenriabeng di Pettala Langit.



Di sanalah di Pettala langit diselenggarakan upacara selamatannya. Bayi itupun diberi nama Aji Laide I Lasangiyang. Setelah diselenggarakan upacaranya di Petala Langit, barulah ia dikirim di ke ujung langit, menjadi ana asuh Baginda Talettu Sompa yang berjodoh dengan Apung Manngenre’ ri Sawangmega, sebab baginda itu orang mandul. Beliau adalah sudara Batara Guru Sang Manurung di Ale Luwu.



Cerita berikut kita arahkan di negeri Pujananti Sunra Riaja, tempat tinggalnya Toballa Unnyi Nyili'Meyong
Selanjutnya perhatian kita arahkan kepada sebuah kerajaan/negeri Pujanting Sunra Riaja, tempat bermukimnya Toballa Unnyi'Meyong, raja yang amat besar kekuasaannya di negeri Pujananting. Baginda bermaksud dan bertekad untuk menyerang I La Galigo serta mengacaukan tanah Ugi, sebab sudah tersebar kemana-mana akan perilaku I La Galigo bersama segenap sepupunya yang macobo-cobo; maccariwakka dari anak datu yang tujuh puluh orang itu. Tidak segan terhadap sesamanya raja. Hanya diri merekalah dianggapnya raja dikolong langit. Manakala ayam jago miliknya membunuh ayam jago lawannya, maka segera merekapun memenangkan pertaruhan dan sewaktu-waktu ayam jagonya terbunuh maka iapun akan memenggal ayam jago milik lawannya.



Konon sudah tiga tahun lamanya Toballa Unnyi mengadakan pembuatan perahu yang kelak akan dipergunakan untuk menyerang tanah Cina', memerangi Tanah Ugi. Sudah sampai pula kabar berita kepada baginda Sawerigading, bahwa Toballa Unnyi yang dipertuan rakyat Sunra telah mempersiapkan bahtera selama tiga tahun lamanya untuk memerangi negeri Cina' serta menghacur leburkan Tanah Ugi.



Bertitahlah Sawerigading:

"Wahai ananda Galigo. Berlayarlah ke Pujananting (Pujananti; saya membacanya : Pujananting), dan seranglah Sunra Riaja, negeri kekuasaannya Toballa Unnyi'. Janganlah hendaknya ananda sampai kalah oleh paduka raja yang dipertuan di negeri Sunra Riaja itu."



Maka berangkatlah I La Galigo bersama segenap sepupu dan laskarnya menuju Pujananting, wilayah kekuasaan Toballa Unnyi'. Tiada berapa lama berlayar, I La Galigo pun tiba diperairan Sunra Rilau yang termasuk wilayah kekuasaan saudaranya Toballa Unnyi'.

Paduka raja Sunra Rilau sendiri yang melakukan penjemputan sambil berkata:

"Selamat datang wahai yang mulia. Masuklah ke dalam negerimu ini. Patik memiliki anak gadis. Hanya jabang bayilah nian tidak mengenal akan kecantikannya.

Bersandinglah dengannya di atas pelaminan, jadikanlah ia penunggu bilik dan pendamping (yang akan melayani kebutuhanmu)."



I La Galigo menjawab dengan tegas sambil berkata:

"Bukanlah urusan perjodohan yang menjadi tujuan pelayaranku. Bukan pula gadis juwita yang ku idamkan sehingga melayarkan bahtera dan mengarungi samudera."



Demikian ucapan La Pananrang:

"Janganlah hendaknya wahai ananda Galigo dikau menolak tawaran baginda Raja sunra. Bagaimana pun juga, hal itu akan menimbulkan bentrokan senjata di antara kedua belah pihak. Padahal ananda diserahi sebuah negeri. Naiklah wahai ananda Semmagga di istana dan bersandinglah dengan Daeng Malino di atas pelaminan. Nati setelah engkau menikah baru kita melanjutkan pelayaran ke Sunra Riaja."



Tanpa membantah sepatah katapun, I La Galigo lalu naik ke atas istana, kemudian duduk bersandinglah Dettiya-Uleng/Ripakkalipu (dipadukan) ikatan perjodohan antara keduanya, lalu dijahitkanlah tali perkawinannya/sesudah itu barulah I La Galigo berkata:

"Maafkalah daku wahai adinda yang mulia, hadapkanlah wajahmu kepadaku, kemudian pasangkanlah ahkota ke atas kepalaku, lilitkanlah pula tali pinggangku. Kuhadiahkan kepadamu tujuh wilayah di Ale Cina', sekian pula banyaknya di Ale Luwu."



Daeng Malino tidak bergeming dan tidak menjawab sepatah katapun perkataan suaminya. Berkatalah I La Galigo:

"Maafkalah diriku wahai adinda We Lino. Kalaupun aku tidak menyentuh tubuhmu, maka itu disebabkan pantangan perang."



Daeng Mallino menjawab:

"Semoga nian kanda selamat, tak kurang suatu apapun. Nantilah, jikalau kakanda kembali dari medan peperangan untuk menyerang negeri kekuasaan pamandamu, barulah kita bermesraan di atas ranjang pengantin."



Menyahutlah ayahanda Daeng Mallino sambil berkata:

"Mengapa gerangan dikau tidak sudi mengenakan pakaian suamimu wahai ananda. Biarlah dia mengenangmu dalam peperangan."



Barulah Karaeng Tompo rela memasangkan mahkota ke atas kepala suaminya besrta memasangkan sabuknya. Maka berkatalah La Galigo:

"Kanda mohon diri wahai adinda We Lino. Tinggallah dalam rumah dan doakanlah ke Pettala Langit agar kakanda beroleh keselamatan hingga kembali pula kemari."



Maka berangkatlah I La Galigo menuju perahunya, diiringi oleh sgenap sepupu dan laskarnya, berlayar menuju ke negeri Sunra Riaja, wilayah kekuasaan Raja Toballa Unnyi'. Syahdan, tibalah I La Galigo dan didapatinya ribuan perahu di pelabuhan.



Maka La Pallajareng pun segera bertanya kepada petugas penjaga perahu tadi sambil berkata:

"Mengapa gerangan sampai demikian banyak perahu di pelabuhan ini, jumlahnya sampai ribuan buah."



Penjaga perahu itu menyembah sambil berkata:

"Sudah tiga tahun lamanya wahai paduka yang mulia, raja kami mempersiapkan perahu. Baginda bermaksud untuk berlayar ke Tanah Ugi di negerinya I La Galigo Toboto'E I Lasemmaga PassawungngE. Akan diperanginya negri Cina."



Betapa murkanya La Pammusureng mendengar ucapan sang pengawal tadi, maka ditangkapnya lalu diikatkan diatas perahu, Sesudah itu I La Galigo dengan segenap sepupunya mendarat sehingga mengagetkan hati Raja Sunra, Toballa Unnyi'. Merekapun langsung menuju pendopo.

Bingunglah perasaan hati Toballa Unnyi' dan lama barulah ia mengeluarkan suara sambil berkata:

"Tuan-tuan berasal dari mana, dan darimana asal kelahiran tuan-tuan."



I La Galigo menjawab:

"Saya bernama La Puraga, bergelar To Appamaling putera dari La Wajolangi di Marapettang. Tujuan kami kemari ialah ingin menyabung ayam. Kami mendengarkan kabar, tiada terperikan ramainya sabungan ayam di negeri Sunra. Berkisar tujuh puluh pasang ayam jago di adu setiap hari. Benag pengikat taji bertumpuk, patahan taji berceceran di mana-mana. Emas pun tinggal diraup sebagaimana halnya jawawut, setiap orang bebas memasuki gelanggang adu ayam. Itulah yang mendorong kai melakukan pelayaran, mengarungi lautan lepas."



Berkata pula I La Galigo:

"Disebut-sebut pula, bahwa kabarnya Paduka berkeinginan berlayar ke Tanah Ugi, untuk memerangi negeri kekuasaan I La Galigo.....Semoga nian Paduka selamat dalam pelayaran agar kelak dapat menghantarkan saya, karena saya telah datang di Tanah Ugi untuk mengadu ayam dinegerinya I La Galigo. Selama tiga kali kami melepas ayam jago, namun akhirnya saya mengundurkan diri, tanpa berani mengangkat senjata menentang I La Galigo, sebab negeriku kecil dan laskarkupun kurang memadai."



Toballa Unnyi menjawab sambil berkata:

"Rupanya engkau sudah pernah berkunjung ke Tanah Ugi. Harap tuan menceritakan paras muka I La Galigo. Bagaimana gerangan roman mukanya I Lasemmaga. Konon kabarnya I Lasemmaga itu macobo-cobo, sedangkan sepupunya yang tujuh puluh orang itu macariwakka......Kelak semoga akulah yang berhasil tiba di tanah Ugi, untuk memerangi negerinya I La Galigo. Jikalau dewa langit merestui dan tercapai maksud hatiku, maka niscaya kubumihanguskan negerinya Topadammani, lalu kurebut isterinya yang tiga orang itu. Saudaranya akan kujadikan tukang pijat, ibundanya kujadikan juru masak, ayahandanya yang bernama Sawerigading itu kujadikan pengawal kolong istana kerajaanku, sedangkan para anak datu yang tujuh puluh orang itu kutugaskan membajak sawah dan memperbaiki pematang."



Betapa murkanya anak-anak datu yang tujuh puluh orang itu mendengrkan ungkapan kata Toballa Unnyi'. Ketika itu menolehlah La Pananrang sambil memebrikan isyarat dengan kerdipan mata kepada anak-anak datu tadi. Maka meloncatlah La Pammusureng ke depan sambil berkata:

"Mari kita menyabung ayam wahai Toballa Unnyi'. Biar kita meramaikan gelanggang milikmu dengan ayam berlaga. Kelak jikalau engkau sudah berlayar ke Tanah Ugi untuk berperang, maka akan tinggalah pendopo ini dalam keadaan sunyi sepi, tanpa adanya keramaian sabung ayam."



La Pammusureng segera menyambar seekor ayam jago. Demikian pula Toballa Unnyi', lalu keduanya bersama-sama naik keatas gelanggang. Berkatalah Toballa Unnyi':

"Sebutkanlah jumlah taruhan ayam jagomu"



La Pammusureng menjawab sambil berkata:

"Kita pertaruhkan bahtera tumpanganku dengan seluruh perahu yang engkau siapkan berlayar kenegeri Cina'. Kita pertaruhkan antara isterimu dan isteriku. Kita pertaruhkan antara ayahandamu dan ayahandaku. Kita pertaruhkan segenap laskar kita."



Kedua pembesar itupun sepakat, maka tajipun dikenakan pada ayam jago masing-masing, lalu bersama-sama memasuki gelanggang dan melepaskan ayam jagonya.

Hanya tujuh kali kedua ayam jago itu bergebrakan, maka terjengkanglah ayam jago milik La Pammusureng. Toballa Unnyi' bergegas menyambar ayam jagonya, untuk dielu-elukan. Namun secepat kilat La Pammusureng mencabut keris pusaka dan ditebasnya batang leher ayam jago milik Toballa Unnyi, sambil berkata:

"Seri! Aya jago kita sama kuat, wahai paduka yang mulia raja Sunra. Rupanya tidak satupun diantara kita yang ditakdirkan Sang Hyang Dewata untuk menjadi penguasa tunggal."



Toballa Unnyi'pun menyahut:

"Tetapi jelas ayammu mati terkapar diatas tanah, sedangkan yamku mati karena engkau penggal."



La Pammusureng membungkukkan badan, memungut bagkai ayamnya dan tiba-tiba ditimpukkannya ke wajah raja Sunra, disusul dengan tikaman keris pusaka. Masih mujur karena ada pengawal setia raja Toballa Unnyi' bersedia mengorbankan dirinya. Ia menghadang didepan Toballa Unnyi sehingga terbabat keris pusaka milik La Pammusureng. Badannya terpenggal, sepotong jatuh tengkurap, sepotong lagi terlentang. Sambil meludah berkata La Pammusureng:

"Apakah engkau suka atau tidak dengan tindakanku membunuh ayammu, namun rupanya engkau belum mengenal wahai raja sunra, akan I La Galigo Toboto'E I Lasemmaga PassawungE yang engaku selalu imingkan untuk menterang negerinya. Nah....bukalah matamu lebar-lebar dan lihatlah sekarang para anak datu tujuh puluh orang itu dihadapanmu!"



Syahdan, maka para laskar kedua belah pihak lalu saling terjang. Peperanganpun tidak terelakkan lagi. Gemerincingan senjata dan perisai emas beradu begema diangkasa, tidak ubahnya bunyi kerbau yang sedang bertarung. Orang-orang luka berjatuhan, para laskar tidak sempat lagi meneguk air. Keduanya silih berganti terdesak, namun pertempuran berlangsung siang-malam. Pada akhirnya Toballa Unyyi' terpojok bibawah payung kebesarannya. Siddo'minasa TobuloE serta merta mendekatinya dan berniat membunuhnya, namun La Pananrang berkata"

"Hendaknya Toballa Unnyi jangan dibunuh, karena Baginda Opunna Ware agar ia itangkap hidup-hidup untu dibawa pulang ke tanah Ugi, lalu dipertontonkan kepada rakyat Cina, orang yang telah lancang....ungkapan katanya."



Maka ditangkaplah Toballa Unnyi hidup-hidup, lalu dibelenggu. Seluruh laksarnya menyatakan diri takluk sambil bersumpah, "bersedia menerima rencana, rela hancur-binasa, namun takkan pernah lagi berani menentang titisan darah keturunan Sang Manurung di tanah Luwu yang sedang berdomisili di Tanah Ugi.

Maka berlayarlah I La Galigo bersepupu dan segenap laskarnya kembali ke Tanah Ugi. Nantilah di Cina sang tawanan di bunuh setelah disaksikan oleh sgenap rakyat Cina di hadapan bagind Opunna Ware, barulah Toballa Unnyi ditenggelamkan didasar samudera enjadi santapan ikan.

Sesudah itu I La Galigo bersepupu kembali bertolak kembali menuju Sunra Rilau, tempat isterinya, Karaeng Tompo Uleng Mallino.

Konon ceritanya, sudah tujuh bulan lamanya I La Galigo tinggal di Pujananting Sunra Rilau, bercumbu rayu dengan isterinya. Bahkan sudah tiga bulan lamanya Uleng Mallino mengidam.



I La Galigo tidak lagi mengingat isterinya yang tiga orang itu di Tanah Ugi. Malahan sampai-sampai orang tuanyapun tidak dikenang lagi. Ia telah lupa diri sibuk bermesraan tidak henti-hentinya dengan Daeng Mallino.



Terpikir juga dalam hatinya La Galigo:

"Sungguh cantik nian Daeng Mallino, sungguh molek Karaeng Tompo. Betul-betul kembang bilik yang tidak akan pernah layu, selalu segar dan hati ini selalu berkuncup, jika mendampinginya tidur di atas ranjang.




Setelah beberapa lama di Pujananting, La Pananrang lal berkata kepada La Galigo:

"Tidak ada jalan lain bagi kita, kecuali harus kembali dahulu ke Cina', wahai ananda Galigo, untuk menyampaikan laporan kepada ayahandamu Opunna Ware sambil menemui sang isteri yang tiga orang itu di tanah Ugi. Tinggallah ibundamu disana dalam keadaan resah, menantikan kedatanganmu kembali membuang sauh didermaga Tanah Ugi."



I La Galigo membalas:

"Kalau begitu biarlah ananda membawa serta berlayar adinda Daeng Mallino ke Tanah Cina'."



Berkata pula La Pananrang:

"Tidak pantas wahai ananda Galigo jikalau engkau mengajak isterimu berlayar sampai ke Cina'. Tentu ananda cukup maklum dengan pembawaan isteri-isterimu yang ada di Tanah Ugi. I We Lampuce Datu Paccing pemarah, We Tenrimono Datu Tempe adalah orang paling suka mencela, sedangkan I Da Battangeng Punna Lipu'E Cina Rilau cepat tersinggung. Selain itu, pamanda kira bahwa pantanglah bagi seorang wanita hamil untuk mengarungi lautan. Tabu baginya melayari samudera."
I La Galigo pun menoleh kepada isteri kesayangannya sambil berkata:

"Maafkalah daku wahai adinda We Lino. Tenangkanlah perasaan hatimu dan biarkanlah daku berlayar ke Cina'. Kanda sedang kangen kepada ayah kita Opunna Ware suami isteri. Kandapun merasa rindu kepada adik kita We Tenridiyo dan Tenribalobo, demikian pula kanda terkenang kepada kakak kita We Makkawaru."



Sambil tersenyum simpul, membatin Uleng Mallino:

"Pintar nian lelaki ini bertutur kata lagi bijaksana dalam berpikir. Ia rindu kepada isterinya yang tiga orang di negeri Ugi, namun yang diucapkannya iyalah rindu kepada Opunna Ware suami isteri."



Lalu dilanjutkannya berkata dengan lembut kepada suami yang dikasihinya:

"Sesungguhnya hutang itu harus dibayar wahai kanda Galigo. Kalau memang bukan milik sendiri, tentu akan kembali juga kepada pemiliknya. Kakanda datang ibarat angin semilir berhembus sepoi-sepoi, lalu hinggap seperti kupu-kupu."



I La Galigo tidak dapat menahan cucuran air matanya, lalu berkata:

"Hancur binasalah wahai adinda We Lino, sekiranya kanda berkata bohong, dan beromong kosong kepadamu. Kalaupun kanda tak membawamu berlayar, tidak lain hanyalah karena tabu bagi wanita yang hamil menyeberangi lautan. Yakinlah wahai adinda We Lino, bahwa kanda akan kembali ke Pujananting sebelum berlalu bulan mendatang ini."



Dengan lembut, berkatalah Daeng Mallino kepada kakandanya:

Sesungguhnya adinda cukup tahu kebiasaan lelaki dalam berkata. Adinda pn tahu akan keinginan lelaki. Bukankah ayahanda yang menitiskanku juga seorang lelaki.

Memang sudah pembawaan lelaki untuk berkata bohong menyatakan hal yang tidak sebenarnya. Lain dihati lain pula dibibir. Sudah kebiasaan lelaki berkata bohong tiada habis-habisnya jikalau sedang bermesraan di ranjang. Manakala kita sedang bermesraan di atas pembaringan, segala macamlah janji-janji yang muluk-muluk, tidak mungkin berpisah dengan isterinya, sehidup semati. Namun setelah nafsu birahinya sudah terpenuhi, setiap janji-janjinya sudah terlupakan sebelum ia melewati ujung tangga. Sumpah setianya tidak diingat lagi."



Mendengar ucapan ini La Galigo pun serta merta merangkul isterinya, lalu didudukannya diatas pangkuannya. Diciuminya isterinya sambil mengusap-usapnya karena kegembiraan yang meluap-luap. Kemudian ia berkata:

"Kakanda bersumpah wahai adinda We Lino, biarkan bahtera kakanda karam di tengah samudera sebelum tiba di negeri Cina', jikalau sekiranya apa yang kujanjikan itu ternyata bohong.

Kanda mohon maaf wahai adinda We Lino dan teangkanlah perasaan hatimu. Relakanlah kakanda berlayar ke negeri Cina'. Akan kuhadiahkan kepadamu sebanyak tujuh negeri di Luwu, sekian pula banyaknya di Cina. Sekiranya putera kita lahir kelak dengan selamat, namakanlah ia La Mappanganro Ripujananting Dg. Kalalla Rigossabare. Sekiranya ia lahir wanita, berilah ia nama We Lenna Singkerru Ugi Masagalae Ripujananting."



Daeng Mallino menjawab:

"Kalaupun janin dalam kandunganku ini lahir dengan selamat dan ia laki-laki, akan kunamai La Mappanganro TomannippiE Sunra Riaja, karena tak ubahnya dinda hanya bermimpi bersamu tak lebih dari separuh malam di dalam bilikku. Jikalau ia wanita akan kunamai ia We Tenriwakkang Ripuwanna, dengan gelar Daeng Massenge Sibalimuwa RimappajungngE."



La Pananrang membatin dalam hatinya:

"Jikalu dituruti kehendaknya I La Galigo, niscaya kita akan tinggal selama bertahun-tahun di Pujananting, sebelum kembali ke Cina'"



Maka, La Pananrang pun memerintahkan agar seluruh pakaian kebesaran I La Galigo dikumpulkan dan segera berlayar kembali ke tanah Ugi. Daeng Mallino jugalah yang mengenakan mahkota kebesarannya, melilitkan sabuk serta menyelipkan keris pusaka di pinggang suami yang dikasihinya.



Berkatalah La Galigo:

"Sudilah kiranya adinda mengantarkan kanda sampai ke pintu istana. Janganlah kembali kebilik sampai usungan yang membawa diriku lenyap dari pandangan matamu. Berikanlah pula sekapur sirih wahai adinda, sebagai pengganti dirimu mendampingiku sampai ke Cina'."



KAraeng Tompo memperkenankan permintaan suaminya. Dilumatnya sekapur sirih, lalu ampasnya diserahkan kepada I La Galigo untuk dikunyahnya pula. Sesudah itu berangkatlah I La Galigo dengan usungannya menuju WalenrangngE.



Syahdan, maka berlayarlah I La Galigo bersepupu dengan segenap laskarnya. I La Galigo tidak mampu menghilangkan bayangan isterinya yang ditinggalkannya di Sunra.


Setelah berlayar selama puluhan malam tanpa meletakkan dayung, para juru bantu dan juru mudi bergiliran menjalankan tugasnya masing-masing dengan cermat, menghindari kandasnya perahu, maka I La Galigo pun tiba di perairan Cina', lal membuang sauh.



Beliau langsung menuju ke istana kerajaan Latanete, sambil membawa serta Toballa Unynyi yang masih dalam keadaan terbelenggu. Beliau lalu menghadap di muka Baginda Opunna Ware. Setelah duduk dihadapan ayahandanya, ia pun menarik batang hidung Toballa Unnyi sambil meludahi mukanya, lalu berkata :

"Wahai Toballa Unnyi, pandanglah wajah ayahk, orang yang hendak kau jadikan pengawal istana negerimu dan bukalah matamu lebar-lebar agar engkau dapat memandang adikku We Tenridio Tenribalobo yang akan engkau jadikan tukang pijat."



Berkatalah Sawerigading :

"Wahai ananda Galigo janganlah dikau tumpahkan darahnya Toballa Unnyi. Adalah suatu pantangan mengalirkan darah Raja Sunra. Suruhlah pengawal membawanya ke laut lepas yang dalam, kemudian tenggelamkanlah ke dasar samudera."



******************

berikut kisah La Mappanganro ke negeri Cina' menemui ayahndanya La Galigo.


Kata sahibul hikayat, tiga tahun berselang sesudah kelahiran La Mappanganro di Pujananting. Ketika ia mulai menanjak remaja, ia pun bertekad dalam hatinya untuk menyusul ayahandanya ke negeri Cina'. Namun ibundanya tidak memberi restu, karena diketahuinya bahwa letak negeri Cina itu amat jauhnya. Kendatipun demikian La Mappanganro tetap bertekad untuk berlayar, tanpa mengindahkan larangan ibundanya.



Demikian pula halnya dengan Aji Laide ri Wiring Langi' senantiasa timbul dalam hatinya keinginan untuk mengarungi samudera luas menuju ke negeri Cina'. Adapun halnya La Mappanganro ketika tiba dinegeri Cina menyembunyikan identitas dirinya. Ia tidak mau berterus terang kepada ayahandanya. Maka ia pun memasuki ibukota kerajaan di Latanete, dimana ia menantang ayahandanya untuk mengadu ayam.



Syahdan, maka tiga kali berturut-turut ayam jago milik La Mappanganro merubuhkan lawannya, namun tiga kali pla ayam jagonya sendiri di babat putus oleh keris pusaka ayahandanya, sehingga ia terpaksa mengangkat senjata, menantang ayahandanya bersepupu. Maka, pecahlah pertempran sengit antara ayah dan anak kandungnya. Pertempuran it barulah berakhir setelah ada surat penyampaian yang dikirimkan oleh I Yabeng dari Pettala Langit. Satu surat tiba dipangkuan La Mappanganro, sepucuk pla jatuh diatas pangkuan I La Galigo. I La Galigo pun memungut surat tadi lalu membaca isinya dan sesudah diketahui maksudnya, ia pun jat terlentang. Setelah beberapa lama kemudian barulah ia bangkit sambil menarik nafas panjang, lal berkata:

"Celaka! Ternyata putraku telah tiba dari Sunra, sengaja datang mencari ayahandanya, sementara aku tidak mengenalnya."



Lalu disabdakanlah kepada sepupunya :

"Sudilah kiranya dikau wahai kakanda La Sulolipu bersama La Pawennari menghentikan pertempuran dan mendiamkan segenap laskar. Ternyata kita tela memerangi puterak dan negeri Sunra tanpa disadari."



Maka seluruh laskar ditarik mundur dan ditenangkan. Sesudah itu barulah I La Galigo bersama segenap sepupunya berangkat ke pelabuhan, langsung naik ke ats bahtera Wettoimpero Uleng LoloE, kemudian serta merta beliau meraih putranya dan mendudukkan dipangkuannya sambil tak hentinya menciumi wajah sang anak serta diusap-usapnya sambil berkata:

"Wahai anada La Nganro, janganlah hendaknya dikau berkecil hati atas ketololan ayahandamu, sehingga engkau telah kusonsong dengan perang dahsyat dimedan laga. Itu semata-mata karena ayahanda tak mengenalmu, apalagi ananda meyembunyikan identitas diri, sedangkan ayahanda sedemikian dungu tanpa menggunakan akal sehat, sehingga mengangkat senjata dan memerangimu."



La Mappanganro tidak berkata sepatah katapun. Ia tidak sudi menjawab perkataan ayahndanya. Dibebaskan diri dari rangkulan ayahandanya sambil tersedu-sedu memikirkan kebrutalan ayahandanya. I La Galigo meraih dan merangkulnya kembali, lalu dipangkunya kemudian berkata dengan lembut :

"Maafkalah daku wahai ananda La Mappanganro, ananda La Nippi dan hilangkanlah perasaan murkamu kepada ayahanda. Tenangkanlah pikiran dan rinagnkanlah langkahmu, untuk turut ke istana La Tanete. Dika jualah putera mahkota pewaris tampuk kerajaan di Cina berhak atas segenap pengabdian rakyat banyak di Tanah Ugi."



Tetap saja La Nganro tidak sdi membka mulut, ia bngkam seribu bahasa. Air matanya jua bercucuran dengan derasnya. Berkatalah To Tenri Ciling bersama Tolinroije (penasehat La Nganro dari Sunra).

"Jawablah perkataan ayahandamu wahai anada La Mappanganro, jangan sampai dikau menjadi kualat dan terkena kutukan, karena membangkang terhdapa orang tua."



Barulah La Panganro membuka mulut, lalu berkata:

"Bukanla karena murka, bkan pula kebencian maka hamba tak sudi menjawab perkataan ayahanda, melaikan perasaan kecewa, mengenang kebrutalan ayahanda. Jelas tiga kali ayam jagok beroleh kemenangan, namun tiga kali pula ayam jagoku dipenggal kepalanya, malahan beliau tega mengangkat senjata dan memerangi ananda di medan laga."



Serta merta La Galigo meraih puteranya, kemudian dinaikkan ke atas usungan dan dibawanya menuju ke istana raja di Latanete, langsung naik ke Singgasana kerajaan.

Betapa suka citanya Sawerigading suami isteri, melihat kedatangan cucunya sambil berkata :

"Wahai ananda Langanro ananda Lanippi, jangan hendaknya dikau pulang ke negeri Sunra sebelum engkau kujodohkan. Maka carilah wahai ananda Langanro ananda Lanippi puteri-puteri istana yang berkenan dihatimu, nantilah nenekda mempertimbangkannya."


Sudah tiga tahun lamanya La Mappanganro tinggal di Latanete, melepaskan rindu dendamnya kepada ayahandanya, sambil enghabiskan waktunya di arena sabungan ayam. Ia tidak ingat lagi pulang ke Pujananting. Berkatalah Tolinrojie bersama dengan Totenrigiling.



"Maafkanlah pamanda wahai ananda La Nganro. Sebaiknya kita pulang dahulu ke Pujananti. Nun jauh disana tinggallah ibundamu dalam keadaan gelisah, tidak tahu apa yang akan diperbuat, kecuali menangis dengan hati yang gundah gulana, menantikan kedatanganmu kembali merapatkan perahu di pelabuhan”.



Syahdan, La Mappanganro pun bersiap-siap bersama denga seluruh lasykarnya untuk berlayar kembali ke Pujananti, menemi ibndanya.



Selanjutnya kita alihkan perhatian kepada I Lasangiyang ri Wiring-Langi’.



I Lasangiyang berkunjung ke Botting Langi’, di istana neneknya yang bernama We Tenriabeng Daeng Manutte Mallajangnge ri kalempi’na (gaib di dalam biliknya).

Ia mengemukakan maksud hatinya, untuk berlayar ke Tanah Ugi, menapaki jejak langkah ayahandanya. Maka berkatalah We Tenriabeng.

“Berangkatlah wahai ananda Laide ke tanah Ugi, nanti nenekda mengirimkan sebuah bahtera ke Wiring-Langi’ yang akan kau gunakan melayari laut lepas untuk menelusuri perjalanan ayahandamu. Hiburlah kakekmu Opunna Ware di negeri pengasingannya.”



Berkata pla We Tenriabeng:

“Kelak jikalau ananda Laide ananda Sangiyang, telah tiba dengan selamat di tanah Ugi sekalian menambatkan perahu di pelabuhan, maka rahasiakanlah ayahandamu.

Ayahandamu itu telah tersohor ke mana-mana, perihal ulahnya yang brutal bersama sepupu-sepupunya yang pada licik itu, mereka tidak menghormati sesamanya raja berdaulat, satu-satunya raja dibawah kolong langit.”



Sesudah itu Aji Laide memperoleh bahtera yang dijanjikan oleh neneknya, dikirimkannya ke Wiring-Langi’.

Maka berangkatlah ia mengarungi lautan lepas, menuju ke negeri Cina’ untuk menelusuri jejak ayahandanya. Setelah belasan hari Aji Laide dalam pelayaran meninggalkan daerah Wiring Langi’, tiba-tiba ia kematian angina ditengah lautan. Rupanya ia enggan menadahkan telapak tangan ke Petala langit, menghaturkan sembah ke Peretiwi, serta enggan memohon ampunan dari Toddang Tojang. Ia pun tidak sudi memberikan sesajian berupa sebutir telur ke dasar lautan.

Pada saat itu Simpuru Lonang, putera We Tenriabeng sedang melayangkan pandangan dari Petala Langit keseluruh penjuru permukaan laut. Dilihatnya perahu emas tumpangan Aji Laide yang terkatung-katung dipermainkan ombak, kematian angin laut, sedangkan ia enggan menghaturkan sembah sujud kepada Dewata di Petala langit, serta mempersembahkan sesajian sebutir telur ke dasar lautan.

Melihat hal itu Simpur Lonang melontarkan lembing disertai dengan kilat dan guntur.



Betapa kagetnya Aji Laide melihat datangnya petir itu, maka disampoknya petir itu sehingga menyimpang entah kemana. Setelah itu lasykar Aji Laide sudah terlibat pertarungan dengan lasykar Simpur Lonang dari Ruwa Lette.

Berdatangan segenap setan gentayangan dari langit, I Labeccoci, I Suwala, To Alebboreng PolokaliE, tiba pula raja-raja setan membawa anjing pemburu dan jerat.



Melihat keadaan itu, Aji Laide berdiri dari dduknya, lalu menudingkan jari tangannya kepada raja setan Perosola-nya Simpuru Lonang, sambil berkata:

”Lancang benar dikau wahai raja Setan PerosolaE, maka engkau tidak mau mengenal Tuanmu ini dari Wiring langi’ turunan Baginda Sang Manurung di Luwu, yang telah timbul dari ruas Bambu.”



Maka kocar-kacirlah para raja setan, pemberani andalan Simpuru Lonang, kemudian tampil sendiri memimpin pertempran.

Didatangkannya sepasukan lasykar tidak berkaki, tidak berlengan, dan juga tidak berkepala.

Tercekatlah perasaan hati La Massiniala, pengawal andalan Aji Laide sambil berkata:

”Wahai adinda Laide, tampilkan kedepan dan tutrkanlah silsilah keturunan leluhurmu. Sebab, saya menjadi ragu-ragu setelah menyaksikan ulat-ulat berperang tanpa kepala, tanpa kaki dan tangan.”



Maka tampillah I Lasangiyang sambil menuturkan silsilah keturunan leluhurnya:

”Sekiranya kalian yang sedang kuhadapi bertarung berasal dari Petala langit, maka aku adalah keturunan I Lapatoto di Botting ri Langi’, Baginda Raja yang berjodoh dengan Singkeru Wira Datu Palinge di Senrijawa, lalu melahirkan Batara Guru yang manurung di ibu kota kerajaan Luwu. Jikalau kalian adalah mahluk dari Peretiwi, akulah keturunan Lauren Riu dari Uri Liyung, yang kawin dengan We Loppareppa di Peretiwi. Beliau kemudian melahirkan We Nyili’Timo yang muncul dari busa Empong, ersama dengan usungannya, kemudian kawin dengan Batara Guru dan melahirkan Batara Lattu. Kalaupun kalian mahluk Toddang Tojang maka akulah keturunan We Linrutojang di Todang Tojang, kemudian menikah dengan We Malagenni, Paduka yang di Pertuan Raja Samudera yang bertahta di Wera WeroE Ute Ponga. Beliaulah yang kemudian menitiskan We Pada Uleng yang muncul di Sawang-me’ga. Ia kemudian menikah dengan La Urempessi di Natanna Tikka, lalu lahirlah We Datu Sengngeng, yang kawin degan Batara Lattu di Luwu. Dari perkawinan beliau lahirlah puteranya yang bernama Sawerigading, yang menikahi We Cudai di negeri Cina’Punna BolaE ri Latanete, puteri Baginda La Sattumpugi Raja Tanah Ugi suami We Tenri Abang di ibu kota kerajaan Cina. Beliau melahirkan puteranya yang bernama I La Galigo TobotoE I La Semmagga yang menikahi I Dabbatangeng di Cina Rilau. Beliau itulah yang melahirkan daku.”



Terkejutlah perasaan hati Simpru Lonang mendengarkan penuturan tadi. Ia kemudian menarik nafas panjang sambil berkata dalam hati, hampir saja aku celaka. Ternyata dia adalah kemenakanku sendiri yang tiada kukenali dan tanpa memberi peringatan, aku menyerangnya dengan lembing pusaka ditengah lautan. Bahkan kulempari pula denga petir.

Segera Simpuru Lonang berpindah keatas bahtera I Lasangiyang, lalu dirangkulnya Aji Laide serta diciumnya serta diusap-usap punggungnya. Setelah itu ia berkata:

”Tenangkanlah perasaan hatimu wahai ananda Laide, panjanglah usiamu. Kalaupun ada selembar bulu-bulu di badanmu yang gugur, niscaya akan kutancapkan kembali dan sekiranya ada selembar rambutmu yang terputus, niscaya akan kusambungkan kembali.

Maafkanlah Pamanda wahai ananda Laide. Tenangkanlah hatimu, nanti kuberikan kepadamu perisai ajaib, telle dan araso, sebagai obat yang dapat mentatkan kembali luka akibat tebasan senjata tajam ataupun mereka yang sekarat dimedan perang. Lupakanlah kebodohan Pamanda karena tiada mengenal dirimu, sehingga kuserang dengan tombak disertai kilat dan petir, tanpa memberi peringatan terlebih dahulu.”



Sesudah itu Simpuru Lonang segera kembali ke Petala Langit langsung ke Istana Saokutta Pareppa’E.

Bertanyalah We Tenriabeng:

”Dari mana gerangan dikau, wahai ananda Simpuru Lonang. Kelihatan engka barusan terkena asap dupa?”



Simpuru Lonang menyahut sambil berkata:

”Ternyata cucunya ibunda Aji Laide telah berlayar ke Tanah Ugi, menyusuri jejak langkah ayahandanya. Ia kematian angin di tengah lautan, sedangkan ia enggan mempersembahkan sesajian di samudera, maka kuseranglah ia dengan tombak pusaka ’Tanra TelluE’, tanpa peringatan.”



Betapa murkanya We Tenriabeng mendengar keterangan puteranya, sambil berkata:

”Wahai Simpuru Lonang, sekiranya engkau membunuh kemenakanmu, niscaya ibunda kembali ke Luwu, negeriku di atas permukaan bumi.”

Sumber: KBM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut

Entri Populer