Sabtu, 20 November 2010

Study Banding "Hunting Educations 2011"



Assalamu Alaikum Wr. Wbr.

"Pengalaman Adalah Guru Yang Terbaik."
"Kesempatan (Waktu) dan Kemampuan Financial, Tidak Selalu Datang Secara Bersamaan. Maka Dari Itu Beruntunglah Org2 Yang Mendapatkan Kedual Hal Tersebut Secara Bersamaan."
By: Aan der Bougiese

Charles Jones, Mengatakan Bahwa "Keadaan Anda Hari Ini Akan Sama Dengan Keadaan Anda Lima Tahun Akan Datang, Kecuali Beberapa hal:
-Orang2 Disekitar Anda
-Tempat2 Yang Pernah Anda Kunjungi
-Buku2 Yg Pernah Anda Baca."

Hal Tersebut, Jauh Sebelumnya Sudah Ternukil Dalam Al-Qur'an, bahwa "Allah Tidak Akan Merubah Nasib Suatu Kaum, Sebelum Kaum Itu Sendiri Yang Merubahnya."

Dasar Inilah Yang Memotivasi Kami,

Dengan Besar Hati, Kami Dari "Ikatan Keluarga PelajarMahasiswa Bombana (IKAPERMAB) Yogyakarta.

Memohon Dukungan dan Partisipasi Bpk/Ibu Guru serta teman2 sekalian untuk mensukseskan kegiatan kami yg bertajuk :

*Sosialisasi Pendidikan "Education Socialization 2011" Pada Bln Januari 2011 (Alhamdulillah Sudah Terealisasi).


*Study Banding "Hunting Education 2011" Insya Allah Akan dilaksanakan Pada Bln Juni 2011,


Dengan Tema "Reach Your Dream n Make History In Your Life."

Konstribusi Sebesar Rp 3.200.000,-/Orang 
dan Bisa diangsur 3 kali.

Dengan Kunjungan Pendidkan sbb;

#Makassar:

-UNHAS/Pantai Losari/Trans Studio Makassar

#Surabaya:
-SMA Internasional Surabaya
-PT. Jawa Pos
-Univ. Airlangga
-PT. PAL
#Bali:
-Tanah Lot
-Univ. Udayana
-Pantai Kuta
-Pantai Sanur
-SMAN Denpasar
-Garuda Wisnu Kencana (GWK)
-Pusat Kaos Joger Bali
-Danau Bedugul
-Tanjung Benoa Nusa Dua
-Pusat Kerajinan Baruna Agung
-Kintamani.

#Yogyakarta:
-UGM/UTY/UIN/UMY/UNRIYO
-Pusat Dagadu Jogja
-Maliboro
-Kraton Sri Sultan Hamengku Buwono
-Candi Prambanan
-Pabrik Susu SGM
-SMA Internasional Yogyakarta.

#Jawa Tengah:
-Candi Borobudur
- Dll. 


Dengan Biaya Rp 3.200.000,- Akan Mendapatkan Fasilitas Sbb:
-Tiket PELNI
-Tiket Pesawat
-Makan+Minum 3 Kali sehari
-Hotel
-Bus Ber-AC
-Pengalaman Tak Terlupakan Seumur Hidup.
-Teman + Wawasan Baru
-Sertificate 
-Kaos
-Souvenir
-Dll. 
 


Peserta:
-Siswa SMA dan SMP Se-Kab. Bombana
-Kepala Sekolah/Pembina/Guru Se-Kab. Bombana. (Pendamping)


NB:
-Berangkat: Bombana-Bone-Makassar (PELNI)-Surabaya-Bali-Jogja-Jawa Tengah.
-Balik: Jogja-Surabaya (Pesawat)-Kendari-Bombana.

Angsuran Pertama (DP) Bln April 2011 sebesar Rp500.000,-
CP; 081 342 347 069 / 0 838 69 777 303
(Ardy Ansyar. S / Ketua Umum IKAPERMAB).
E_mail         : ikapermab_yogyakarta@yahoo.com
Web_blog     : ikapermab-yogykarta.blogspot.com
FB               : Ikapermab de Yogyakarta 
(Group            : Ikatan Keluarga Pelajar Mahasiswa Bombana (IKAPERMAB) Yogyakarta).


Mohon Partisipasi dan Dukungannya.

Bukalah Cakrawalamu, Maka Masa Depan Cerah Akan Menghampirimu.!!! 

Let's Join With Us.!!!

www.google.com
www.facebook.com
www.yahoo.com
www.salingsapa.com
www.kendaripos.com 
www.fajar.com 
www.twitter.com 
www.netlog.com 
www.detik.com 
www.wikipedia.com 
www.kapanlagi.com
www.uty.ac.id
www.sultra.go.id
www.diy.go.id
www.sulsel.go.id
www.pramukanet.com
www.youtube.com

Minggu, 14 November 2010

Story About Sawerigading

Dian Cahyadi


Pada suatu ketika I Dio' terserang penyakit gagu. Berkata sahibul hikayat, sudah tiga tahun lamanya I Dio' mengidap penyakit tadi. Berdatanganlah seluruh dukun untuk mengobatinya, namun tidak ada perubahan apa-apa. Telah berdatangan pula segenap Bissu untuk mengupayakan penyembuhannya. Berkatalah Puang Matowa (Penasehat Raja) :

"Tiada nian obat yang akan mempan menyembuhkan anada I Dio', kecuali diadakan upacara selamatan sebagaimana halnya yang penah dilakukan atas diri baginda Bissu Rilangi, We Tenriabeng di Luwu".

Kemudian Puang Matowa menambahkan kata-katanya:

"Apabila tdak segera diadakan persiapan yang diperlukan, lalu diadakan upacara selamatan menurut yang pernah dilakukan atas diri We Tenriabeng, pada akhirnya nyawa anakda Tenridio' akan melayang. Tanaman tidak akan tumbuh subur, panen pun akan gagal, dan rakyat pun akan mengalami kesusahan yang amat besar."



Betapa dukacitanya Sawerigading. BAginda pun jadi bingung memikirkan hal itu, sebab upacara selamatan hanya bisa terlaksana sebagaimana mestinya, apabila disertai peralatan khusus berupa 'Genrang 'mpulaweng ri Luwu', sedangkan 'Gendrang tersebut tidak dapat didatangkan kecuali apabila keturunan Sang Manurung ri Luwu yang mengantarkannya.

Sawerigading merasa amat bingung. Beliau sendiri yang akan kembali ke Luwu menjemput, namun mustahil dilakukan karena belai pernah bersumpah tidak akan ke luwu dan menginjakkan kakinya lagi di tanah luwu
...Kalaupun I Lagaligo yang berlayar, maka ibunya I We Cudai tidak akan memperkenankan puteranya melakukan hal itu, sebab katanya negeri Luwu itu terletak di ujung bumi, apalagi sawerigading (So' We Ri Gading) punya hutng darah yang cukup banyak kepada sesama raja. Jangan sampai puteranda karam, menjadi santapan binatang buas yang bertahta di lautan. Berkatalah Sawerigading : "Takkan ada seorangpun yang brani berbuat demikian wahai adinda Cu Dai. Kendatipun mereka memiliki 2 tubuh, berkepala tiga namun takkan lancang untuk menurunkan tangan maut kepada turunan Sang Manurung di Tanah Luwu. Apalagi binatang buas yang bertahta, menguasai samudera nan luas."



Daeng Ri Sompa menjawab perkataan suaminya :"Apapun alasan Kakanda Opunna Ware! Nmun adinda tidak akan memperkenannkan putra kita mengarungi samudera untuk menjemput Genrang 'mpulaweng ri Luwu."



I WeCudai menmbahkan perkataanya : "Apa gerangan kiranya sehingga kakanda tidak berusaha menitahkan agar dibuatkan Genrang 'mpulaweng untuk mengobati We Tenridio'."



Sawerigading menjawab perkataan isterinya : "Wahai dinda Cudai! Menurut dugaan kakanda meskipun seluruh emas yang ada ditanah Ugi ini dikumpulkan, namun tidak akan cukup untuk bahan pembuatan sebuah genrang 'mpulaweng. Bayangkan saja, Genrang 'Mpulaweng yang ada di Luwu mempunyai 70 utas tali pengikatnya, seluruhnya emas murni. Demikian pula Gong Genrang 'Mpulaweng, ada sebanyak 70 utas tali gantungannya. Semua itu terbuat dari emas murni. Dari manalah akan diperoleh emas yang demikian banyaknya di negeri Cina ini?"



MAka menangislah Sawerigading sambil berkata: "Suratan nasibmu jualah ananda We Dio', karena telah dilahirkan dinegeri yang miskin seperti Cina ini. Sekiranya engkau lahir di Luwu maka tidak ada sesuatu keperluan yang tidak tersedia."

Putus asalah Sawerigading mengenang penyakit puterinya.



Menyahutlah I Lagaligo: "Ada persoalan apakah, sehingga kulihat baginda Opunna Ware (Sawerigading) termenung-mneung, seolah-olah amat rawan."



La PAllajareng menjawab : "Rupanya dikau belum tahu wahai adinda Galigo, perihal kerawanan hati yang amat besar bagi Paduka yang Mulia Opunna Ware, Sudah tiga tahun lamanya adik kita We TenriDio' mengidap penyakit gagu. Menurut Puwang Matowa (Ketua Bissu), penyakit itu disebabkan karena tidak dilakukannya upacara tradisional sebagaimana halnya ang dilakukan atas diri baginda putri Bissu Ri LAngi (gelar/panggilan Tenriabeng) di Luwu. NAmun upaara tidak dapat dilakukan jika tidak disertai genrang 'mpulaweng serta gong mpulaweng ri Luwu. PAdahal tidak dpat didatangkan jika dihantarkan oleh keturunan lsg Sang MAnurung."

Belum leps La pallajareng berkata-kata, bergegaslah La Galigo menemui ayahandanya yang sedang bermuram, lalu berkata: "Janganlah hendaknya ayahanda berduka cita karena mengenangkan soal pelayaran ke Luwu, untuk menjemput Genrang 'Mpulaweng. Biarkanlah ananda yang berangkat mengarungi lautan, kendati ibunda tidak akan memberi restu. Ananda akan tetap melakukan pelayaran itu."



Bersuka citalah Opunna Ware mendengar pernyataan putranya, lalu beliau berkata: "Kalu demikian maka berangkatla dikau wahai anada GAligo, ajaklah bersama Pamandamu La PAnanrang dan La Massaguni, sebagai jaminan agar orang-orang di Luwu yakin dan percaya atas dirimu. Jangan sampai kelak engkau tiba di Luwu sedangkan BAginda tidak percaya atas dirimu sehingga beliau tidak sudi menyerahkan Genrang 'Mulaweng Manurungnge itu. Bawalah berlayar Welenrangnge (kapal Sawerigading)."....."Kelak jikalau engkau selamat tiba di Luwu, sembunyikanlah kehadiran pamanmu La Pananrang dan La massaguni. Maka hadapilah kakekmu, ayahanda dari pamanmu La Pananrang dan La Massaguni."



Lanjut Sawerigading berkata:

"Wahai anada GAligo. Ada sebanyak 70 orang ibu tirimu yang bermukim di Luwu. Datangilah mereka satu persatu secara bergiliran. Tinggallah selama lima hari lima malam pada masing-masing ibumu, kecuali di rumah ibu tirimu We Panangareng, tinggallah selama sepulu hari sepuluh malam. Upayakanlah wahai ananda Galigo, tidak tinggal lebih dari setahun, lalu kembali ke Cina, dengan membawa Genrang 'mpulaweng manurungnge di Luwu."



Sesuai dengan kesepakatan, maka berangkatlah La Galigo keesokan harinya bersama kedua pamannya dan segenap sepupu-sepupunya.

Maka bertolaklah Welenrangnge menuju tanah Luwu. Dayung tak kunjung diletakkan, juru balang silih berganti menjalankan tugas, demikian pula juru mudi tetap waspada enghadapi gelombang dan onggolan pasir (dangkal).



MAka tibalah perahu-perahu emas La Galigo di wilayah tangkapan para nelayan. I Lagaligo pun bermaksud memasukkan bahteranya ke muara sungai luas dan lebar itu. Berkatalah I Lagaligo kepada para penjaga muara.

"Mengapa gerangan pintu gerbang muara ditutup? Sayapun tidak melihat adanya ayam-ayam jago berkeliaran?"

Lalu dijawab ole para penjaga muara dengan telpak tangan disimpuhkan:

"Rakyat Ale' Luwu ini sedang berkabung, wahai paduka, dan tidak diperkenankan wahai paduka, orang yang datang membawa ayam jago di Wattangpare."



Berkaalah I Lagaligo:

"Bukalah lang gerbang muara yang luas ini, agar bahteraku dapat lewat dan masuk ke pelabuhan. Akupun berniat naik kedarat sambil membawa ayam jago di Tanah Luwu, untuk meamaikan kembali gelanggang emasnya Opunna Ware dengan enyabung ayam di arenanya."



Penjaga muara sungai kemudian merangkapkan kedua tangannya sambil menyembah, lalu berkata:

"Hamba mohonkan wahai paduka untuk tidak membuka palang muara sungai yang luas ini. Hamba takut wahai paduka, terhadap tuan hamba Sang Manurung ri Ale Luwu (BAginda raja Luwu/ BAtara Lattu).



Maka murkalah La Galigo. Beliau kemudian berdiri sambil menudingkan telujukknya, memberi perintah agar dibukakan palang muara. Maka serentak orang-orang Luwu membukakan palang sungai yang luas itu. Maka lewatlah Sang Welenrangnge sampai ke pelabuhan, membuang sauh digulungkanlah pula kain layarnya Wakkawerowe. Tidak lama sesudah itu datanglah ayah kandung La Pananrang beriringan dengan ayah kandung La Massaguni. Sementara itu La PAnanrang dan La Massaguni pun disembunyikan diatas perahu. MAka berdirilah La Pangoriseng bersaudara didekat Welenrangnge, sambil menyahut:

"Maafkalah ketidak tahuan kami wahai para bocah (lagaligo dan rombongannya). Dari mana gerangan ngeri asalmu, dimana tanah tumpah darahmu, apa maksud dan tujuan kalian datang ke Luwu ini.

Tidakkah kalian mengetahui bahwa rakyat di seluruh negeri Luwu ini sedang berduka cita, sudah sekian tahun lamanya paduka yang dipertuan di Kerajaan Luwu pergi merantau meninggalkan negerinya, sudah sekian lamnya pula gelanggang adu ayam tinggal kosong, sepi tanpa ada kegiatan adu ayam. Sekian pulalah....lamanya ayam-ayam jago berbuluh putih dikesumba."



La GAligo membalas dan merucap:

"JAuh amat nian negeri asalku. PAtik bernama La PAbokori (Siperantau) bergelar ToSibengngareng (Heran), putera Lapura Elo di MArapettang (entah berantah). MAksud dan tujuan patik berlayar di Wattangpare, tiada lain ingin menyabung ayam, sekedar meramaikan gelanggang adu ayam."



LA PAngoriseng menjawab dan berkata:

"Apakah tuan merasa sebagai Paduka yang dipertuan di Luwu, ataukah tuan telah menaklukkan wilayah kami seingga tuan ingin memaksakan kehendak sendiri. Walaupun saat ini negeri Luwu sedang dilanda kemelut, penduduk pun sedang berdka-cita, namun patik tidak bakal membiarkan tuan memaksakan kehendak tuan, tanpa mengadu senjata, mengadu perisai, dan mempertarungkan laskar kita"



Menyahutlah I LAgaligo sambil berkata:

"Engkau rela mati wahai La Pangoriseng ataupun tidak rela wahai ayahandanya La Pananrang, namun aku takkan kembali ke negeriku sebelum menjejakkan kaki di tanah Luwu, untuk meramaikan kembali gelanggang gadingnya Sawerigading dengan sabung ayam."



Tercekatlah perasaan hati La Pangoriseng menyaksikan Sang Bocah itu. Ia pun sangat mirip dengan Sawerigading dimasa remajanya. Bocah disebelah kananya mirip sekali dengan La Pananrang, sedangkan yang disisi kirinya mirip sekali dengan La Massaguni. Ia pun mengenal semua nama La Pangoriseng bersaudara, serta para bangsawan tinggi.

Terbetik dihati Pangoriseng bahwa besar dugaanku sang bocah adalah putranya LaMaddukelleng diperantauan, yang akan datang kenegeri Luwu tanpa ingin dikenal. Lalu La Pangoriseng mengulangi ucapannya:

Wahai Raja muda. Mohon kiranya sudilah paduka mengutarakan hal yang sebenarnya. Sebutkanlah nama paduka, serta nama orang tua paduka. Kemudian paduka naik kedaratan, ramaikanlah gelanggang dengan sabung ayam di pendopo."



Ketika itu La Pananrang dan La MAssaguni menampakkan diri sambil berkata:

"Wahai ananda Galigo, janganlah hendaknya anada terlalu lama mempermainkan kakekmu, sebab perjalananmu ini amat tergesa-gesa, bahkan kita tidak boleh berlama-lama di Luwu.



Betapa sukacitanya perasaan hati La Pangoriseng bersaudara ketika dilihatnya putra-putra mereka. Beliau pun segera meloncat keatas perahu La Welenrangnge; lalu dirangkulnya I La Galigo dan diciuminya wajahnya sambil berkata:

"Wahai ananda GAligo, janganlah dikau buru-buru mendarat ditanah Luwu, sebelum kakek mengadakan upacara selamatan. Tinggallah sebentar di atas perahu, semntara aku naik ke daratan mempersiapkan jamuan. Nantikanlah sampai seluruh rakyat Luwu datang menjemput, barulah dikau turun menjejakkan kaki di Bumi Wattangmpare. Kakekpun akan mempersembahkan sesajian berupa kerbau bertanduk emas."

Sesudah mengadakan pembicaraan dengan cucu saudari saudaranya (cucu dari Batara Lattu yaiu sodaranya La Pangoriseng) maka La PAngoriseng bersaudara menuju istana Lakko Manurungnge ri Ale Luwu. Diperintahkannya kepada segenap rakyat, untuk berkumpul di depan istana. Setelah seluruhnya berkumpul, mereka kemudian bersama-sama berangkat menuju pelabuhan menjemput paduka yang dipertuan (I Lagaligo) untuk mendarat, menjejakkan kaki dipusat Kerajaan Luwu.



Namanya titah Raja, perintah Sang Penguasa maka dalam sekejap mata saja terlaksanalah seluru titah baginda La Pangoriseng. Berdatanganlah segenap rakyat di negeri Luwu, memenuhi halaman istana raja Luwu.

Rakyat banyak itu riuh rendah, karena bersuka cita atas kedatangan Baginda Yang Mulia yang sebentar lagu akan dijemput dipelabuhan.



Timbullah kembali semangat hidup rakyat luwu, karena datangnya putra mahkota (I La Galigo) Opunna Ware. Lalu berangkatlah I La Galigo sampai ke istana Lakko Manurungnge Mai ri Luwu. Setelah tiba dilihatnya jamuan lengkap, ditunggui oleh puluhan dayang-dayang. Bertanyalah I La Galigo :

"Apa gerangan yang telah terjadi wahai para dayang-dayang, sehingga di sini tersedia jamuan lengkap yang kalian tunggui, padahal tidak ada raja yang duduk dihadapan kalian ?"



Para dayang-dayang lalu menjawab:

"Santapan sehari-hari wahai Paduka yang mulia untuk Baginda (Sawerigading) yang pergi berlayar, mengasingkan dirinya dinegeri yang jauh. Seorang pula yang telah gaib, melayang naik ke Botting-Langi' (Tenriabeng, adik kembar Sawerigading), menemukan jodoh di Ruwa Lette. Beliaulah yang disiapkan santapannya."



Berkata I La Galigo:

"Kumpulkan segenap dayang-dayang ini wahai Ina! Janganlah kalian menunggui jamuan, padahal di hadapan kalian tidak ada seorangpun raja yang bersantap."



Sesudah itu I La Galigo meneruskan langkahnya hingga ke ruangan tempat penyimpanan Genrang mpulaweng Manurungnge Mai ri Luwu. Lalu diraihnya Genrang itu, kemudian ditabuhnya bersama-sama dengan La Sulolipu, suara

genrangnya bertalu-talu. Tak ubahnya bunyi genrang apabila Sawerigading yang menabuh bersama La Pananrang.



Maka bangkitlah Sawerigading di tepat tidurnya, sembari berkata:

"Telah tiba wahai adinda Cudai, putramu di Luwu. Kanda dapat mendengarkan bunyi gendangnya sampai kemari."



Batara Lattu' pun menggeliat diatas pembaringannya sambil berkata:

"Telah tiba nian putranda di Luwu, bermukim di tanah leluhurnya Wattang mpare sambil menabuh genrang mpluaweng manurungnge, bersama-sama La Pananrang."



Berkatalah sang pengiring/pengawal Batara Lattu sambil menghaturkan sembah sujud:

"Konon kabarnya wahai Paduka yang mulia! Dia adalah putranda dari ananda Sawerigading yang berbalasan dengan putranya La Pananrang menabuh genderang di luar."



Batara Lattu, berkata:

"Suruhlah ia masuk ke dalam kamarku, agar aku bertutur sapa dengan bocah itu."



Maka berjalanlah I Lagaligo memasuki kamar kakeknya, Batara Lattu. Iapun menghaturkan sembah sujud sebanyak tiga kali, kemudian mengambil tempat duduk dihadapan Batara Lattu. Berkatalah Batara Lattu:

"Tinggallah dikau di Luwu wahai ananda Galigo, menemaniku, selaku oenggati ayahandamu sebagai Pangeran Mahkota di ibu kota kerajaan Luwu."



I La Galigo menghaturkan sembah sujud sambil berkta:

"Tapak tangan hamba hanya sekedar gumpalan darah, tenggorokan hamba pun tak ubahnya kulit bawang. Semoga nian hamba tidak kualat dalam menjawab titah paduka."



lanjut La Galigo:

"Mohon restu paduka yang mulia. Hamba tidak dapat tinggal menetap di Luwu ini, sebab adinda We Tenridio' sedang terserang penyakit parah. Ia mengidap penyakit yang menuntut diadakannya upacara tradisi di negeri Luwu, sebagaimana halnya yang pernah dilakukan bagi Baginda Ratu yang mulia, Mallajangnge ri Kalempi'na. Demikianlah waha Paduka yang mulia, sehingga ayahanda tercinta Opunna Ware menitahkan hamba untuk menjemput Genrang mpulaweng anurungngE di Luwu ini."



Berkatalah Batara Lattu:

"Kalaupun demikian berangkatlah ke tanah Ugi wahai ananda Galigo untuk mengantarkan Genrang pluaweng ManurungngE. Kelak, setelah selesai penyelenggaraan upacara selamatan bagi We Dio', kembalilah kemari, untuk menggantikan ayahandamu sebagai penguasa di Wattang mpare."



Sesudah selesai bertutur sapa dengan kakeknya, I Lagaligo pun melangkah ke luar. Berkisar satu tahun lamanya I Lagaligo tinggal di Luwu menunggui kakek dan ibu-ibu tirinya, barulah I Lagaligo bersama segenap sepupunya dan seluruh pengiringnya berlayar kembali menuju Cina. Diboyonglah Genrang mpulaweng ManurungngE ri Luw bersamanya.



Upacara selamaan We Dio' pun diselenggarakan. Sudah empat puluh hari empat puluh malam lamanya penduduk bergembira ria di Latanete sambil memanggang kerbau. Berdatanganlah segenap sepupu I Lagaligo yang perempuan untuk menyaksikan keramaian di Latanete.



Pendopo penuh sesak dengan penduduk yang berdatanagan dari seganap penjuru. Tiada terkatakan ramainya suasana di Cina. Para anak-anak Datu yang tujuh puluh orang itu saling bergantian menabuh genderang, sehingga bunyinya pun bertalu-talu tiada hentinya. Tiada sekejappun genderang itu berhenti ditabuh silih berganti. I Lagaligo berpasangan dengan I La Sulolipu, La Pawennari dengan Sida'Manasa To Bulo'E, La Patenrongi dengan I La Pallajareng, dan berpasanganlah La Tenripale To Lamuru'E dengan La Pammusureng.



Para anak datu yang tujuh puluh orang itu tidak kunjung terlelap. Ingin pulalah I Da'Batangeng, Punna Lipu'E Cina Rilau, puteri La Makkasau menyaksikan keramaian di Latanete, maka bertitahlah ibundanya:

"Wahai anada I Da'Batangeng! Janganlah hendaknya ananda berkunjung ke Cina, hanya untuk menyaksikan keramaian di Latanete/Sinukkerenna I La Galigo/dari Luwu/Cobo'-cobonna maccariwakka I La Semmaga, tidak menyegani sesamanya raja, dianggapnya bahwa hanya dirinyalah raja yang berkuasa di kolong langit. Jangan sampai ditahannya usungan tumpanganmu dan tidak dibiarkannya dikau pulang kembali ke negerimu Cina Rilau."



Berkatalah La Makkasau, ayahanda I Da'Batangeng, bahwa:

"Mengapakah gerangan wahai ibundanya I Da'Batangeng, maka dikau tidak memperkenankan keinginan putrimu pergi ke Cina, untuk menyaksikan keramaian di Latanete."



Berkata pula Punna Lipu'E Cina Rilau (La MAkkasau):

"Kalaupun ternyata usungannya ditahan I La Galigo pakah salahnya jikalau ia dijodohkan dengan sepupunya itu. Biarlah putri kita pergi ke Cina, menyaksikan keramaian di Latanete."



Maka berdandanlah I Da'Batangeng, bersalin pakaian yang indah lalu berangkatlah menuju Cina untuk menyaksikan keramaian di Latanete. Hanya dalam sekejap saja maka tibalah usungan yang membawa I Da'Batangeng. Ia lalu turun di depan istana. Ketika itu I La Galigo sedang mengadu ayam di atas arena adu ayam.

Ketika La Galigo menoleh, dilihatnya sepupunya yang sedang turun dari usungan, lalu melangkahkan kaki naik ke istana. Berkatalah La Galigo:

"Siapakah gerangan putri mahkota nan cantik jelita yang barusan tadi tiba dengan usungan ?"



La Pallajareng, menyahut:

"Rupanya dinda Galigo tidak mengenal sepupu kita Punna Lipu'E Cina Rilau. Ia bernama I Da'Batangeng, puteri Baginda La Makkasau."



Serta merta I La Galigo mencampakkan ayam jagonya lalu bergegas melangkah ke istana untuk menyusul I Da'Batangeng. La Galigo langsung menuju ke atas pelaminan (lamming) menabuh genderang, berpasangan dengan La Sulolipu. Tabuhan genderangnya berbunyi seperti suara manusia:

"Dahului-dahuluilah si orang Walana itu. Cegat, cegatlah si orang Solo'. Dahuluilah bersanding di atas pelaminan emas. Sungguh takkan kubiarkan Punna Lipu'E Cina Rilau kebali kenegerinya. Saya berkeinginan menyandera usungan putri juwita dari Cina Rilau."



Bergantian pamandanya menasehati La Galigo, demikian pula ayahandanya turut menasehatkan, bahwa:

"Janganlah wahai ananda Semmagga engkau menyandera usungan dari Cina Rilau. Jangan sampai hal itu menurunkan martabat pamndamu La Makkasau. Jikalau susungan putrinya tersandera. Biarkalah sepupumu itu kembali ke kampung halamannya."



I La Galigo tidak sudi mendengarkan nasehat ayahnya, lalu berkata:

"Perkenankanlah wahai ayahanda adindaku I Da'batangeng tetap tinggal di istana Latanete, sementara itu ayahanda mengirimkan utusan untuk meminangnya pada baginda La Makkasau di Cina Rilau."



Berbalaslah Sawerigading:

"Mengapakah gerangan wahai ananda Galigo engkau berkeinginan menyandera usungan dari Cina Rilau, padahal kita tidak menguasai wilayah kekuasaan pamandamu. Kita tidak dapat memaksakan kehendak sendiri terhadapnya."



Namun I La Galigo sudah lupa diri, tidak sudi lagi mendengarkan nasehat.





Insya Allah pula akan say ceritakan cerita Tellu Cappa'E na La Madukkelleng Arung Pasir - Arung Siengkaang penguasa To Masi' (Temasek) Sang Penguasa Laut Cina Selatan (Singa Laut alias The Prince of Pirates).


Maka pada waktu tengah malam buta, I Da'batangeng diantarkan pulang ke kampung halamannya di cina rilau.

Pada keesokan paginya, ketika sang surya baru saja terbit di ufuk timur, bangunlah La Galigo bersepupu langsung membasuh muka lalu menenangkan perasaan hatinya sambil makan sirih. Diarahkanlah pandangan matanya ke atas pelaminan yang diduduki I Da'batangeng, maka iapun terkejut karena tidak dilihatnya bayangan sepupunya Punna LipuE Cina Rilau. Ia lalu bertanya:

"Kemanakah gerangan adindaku I Da'batangeng?"



Lalu dijawab oleh La Pallajareng :

"Adik kita I Da'batangeng telah kembali ke kampung halamannya di Cina Rilau pada larut malam."



Maka bergegaslah I La Galigo menyusul kepergian adik sepupunya sampai ke Cina Rilau. Turut serta segenap anak datu yang tujuh puluh orang itu.



Berkatalah La Makkasau:

“Maafkalah pamanda wahai ananda Galigo. Kembalilah ke Latanete, agar ayahandamu mengajukan pinangan resmi atas sepupumu I Da’batangeng. Barulah kita ramaikan perjodohanmu.”



Dibalaslah oleh Galigo:

“Perkenankalah ananda untuk tidak kembali lagi ke Latanete. Biarkanlah ananda tinggal di singgasana kediaman adinda I Da’batangeng, sementara menantikan kedatangan duta/utusan resmi dari ayahanda Opunna Ware. Nantilah di sini, di atas singgasanamu hamba mempersiapkan diri untuk menikah serta bersanding dengan adinda I Da’batangeng.”



Silih berganti paman-paman I La Galigo dating menasehatinya. Namun semuanya sia-sia. I La Galigo tidak sudi lagi mendengarkan petuah ataupun kata-kata lembut dan bujuk rayu. Bingunglah pikiran Sawerigading mengingat tindakan putranya yang terlanjur itu.



Maka diantarkanlah kepada I La Galigo pakaian pengantinnya di Cina Rilau. Di sana pulalah, di istana kediaman I Da’batangeng, La Galigo mempersiapkan diri untuk menikah. Maka ia pun duduk bersanding dengan sepupunya di atas pelaminan.



Syahdan, maka tiga bulan lamanya setelah ia kawin, maka hamillah I Da’batangeng. Jabang bayi dalam kandungan. I Da’batangeng ketagihan pada penyelenggaraan tradisi leluhur di Ale Luwu. Namun sang dukun tidak segera menyelenggarakan, sehingga jabang bayi itu gaib bersamaan dengan datangnya petir dan kilat yang sambung-menyambung. Jabang bayipun terdampar di Sao Kutt Pareppa’E, istana kediaman Baginda Ratu We Tenriabeng di Pettala Langit.



Di sanalah di Pettala langit diselenggarakan upacara selamatannya. Bayi itupun diberi nama Aji Laide I Lasangiyang. Setelah diselenggarakan upacaranya di Petala Langit, barulah ia dikirim di ke ujung langit, menjadi ana asuh Baginda Talettu Sompa yang berjodoh dengan Apung Manngenre’ ri Sawangmega, sebab baginda itu orang mandul. Beliau adalah sudara Batara Guru Sang Manurung di Ale Luwu.



Cerita berikut kita arahkan di negeri Pujananti Sunra Riaja, tempat tinggalnya Toballa Unnyi Nyili'Meyong
Selanjutnya perhatian kita arahkan kepada sebuah kerajaan/negeri Pujanting Sunra Riaja, tempat bermukimnya Toballa Unnyi'Meyong, raja yang amat besar kekuasaannya di negeri Pujananting. Baginda bermaksud dan bertekad untuk menyerang I La Galigo serta mengacaukan tanah Ugi, sebab sudah tersebar kemana-mana akan perilaku I La Galigo bersama segenap sepupunya yang macobo-cobo; maccariwakka dari anak datu yang tujuh puluh orang itu. Tidak segan terhadap sesamanya raja. Hanya diri merekalah dianggapnya raja dikolong langit. Manakala ayam jago miliknya membunuh ayam jago lawannya, maka segera merekapun memenangkan pertaruhan dan sewaktu-waktu ayam jagonya terbunuh maka iapun akan memenggal ayam jago milik lawannya.



Konon sudah tiga tahun lamanya Toballa Unnyi mengadakan pembuatan perahu yang kelak akan dipergunakan untuk menyerang tanah Cina', memerangi Tanah Ugi. Sudah sampai pula kabar berita kepada baginda Sawerigading, bahwa Toballa Unnyi yang dipertuan rakyat Sunra telah mempersiapkan bahtera selama tiga tahun lamanya untuk memerangi negeri Cina' serta menghacur leburkan Tanah Ugi.



Bertitahlah Sawerigading:

"Wahai ananda Galigo. Berlayarlah ke Pujananting (Pujananti; saya membacanya : Pujananting), dan seranglah Sunra Riaja, negeri kekuasaannya Toballa Unnyi'. Janganlah hendaknya ananda sampai kalah oleh paduka raja yang dipertuan di negeri Sunra Riaja itu."



Maka berangkatlah I La Galigo bersama segenap sepupu dan laskarnya menuju Pujananting, wilayah kekuasaan Toballa Unnyi'. Tiada berapa lama berlayar, I La Galigo pun tiba diperairan Sunra Rilau yang termasuk wilayah kekuasaan saudaranya Toballa Unnyi'.

Paduka raja Sunra Rilau sendiri yang melakukan penjemputan sambil berkata:

"Selamat datang wahai yang mulia. Masuklah ke dalam negerimu ini. Patik memiliki anak gadis. Hanya jabang bayilah nian tidak mengenal akan kecantikannya.

Bersandinglah dengannya di atas pelaminan, jadikanlah ia penunggu bilik dan pendamping (yang akan melayani kebutuhanmu)."



I La Galigo menjawab dengan tegas sambil berkata:

"Bukanlah urusan perjodohan yang menjadi tujuan pelayaranku. Bukan pula gadis juwita yang ku idamkan sehingga melayarkan bahtera dan mengarungi samudera."



Demikian ucapan La Pananrang:

"Janganlah hendaknya wahai ananda Galigo dikau menolak tawaran baginda Raja sunra. Bagaimana pun juga, hal itu akan menimbulkan bentrokan senjata di antara kedua belah pihak. Padahal ananda diserahi sebuah negeri. Naiklah wahai ananda Semmagga di istana dan bersandinglah dengan Daeng Malino di atas pelaminan. Nati setelah engkau menikah baru kita melanjutkan pelayaran ke Sunra Riaja."



Tanpa membantah sepatah katapun, I La Galigo lalu naik ke atas istana, kemudian duduk bersandinglah Dettiya-Uleng/Ripakkalipu (dipadukan) ikatan perjodohan antara keduanya, lalu dijahitkanlah tali perkawinannya/sesudah itu barulah I La Galigo berkata:

"Maafkalah daku wahai adinda yang mulia, hadapkanlah wajahmu kepadaku, kemudian pasangkanlah ahkota ke atas kepalaku, lilitkanlah pula tali pinggangku. Kuhadiahkan kepadamu tujuh wilayah di Ale Cina', sekian pula banyaknya di Ale Luwu."



Daeng Malino tidak bergeming dan tidak menjawab sepatah katapun perkataan suaminya. Berkatalah I La Galigo:

"Maafkalah diriku wahai adinda We Lino. Kalaupun aku tidak menyentuh tubuhmu, maka itu disebabkan pantangan perang."



Daeng Mallino menjawab:

"Semoga nian kanda selamat, tak kurang suatu apapun. Nantilah, jikalau kakanda kembali dari medan peperangan untuk menyerang negeri kekuasaan pamandamu, barulah kita bermesraan di atas ranjang pengantin."



Menyahutlah ayahanda Daeng Mallino sambil berkata:

"Mengapa gerangan dikau tidak sudi mengenakan pakaian suamimu wahai ananda. Biarlah dia mengenangmu dalam peperangan."



Barulah Karaeng Tompo rela memasangkan mahkota ke atas kepala suaminya besrta memasangkan sabuknya. Maka berkatalah La Galigo:

"Kanda mohon diri wahai adinda We Lino. Tinggallah dalam rumah dan doakanlah ke Pettala Langit agar kakanda beroleh keselamatan hingga kembali pula kemari."



Maka berangkatlah I La Galigo menuju perahunya, diiringi oleh sgenap sepupu dan laskarnya, berlayar menuju ke negeri Sunra Riaja, wilayah kekuasaan Raja Toballa Unnyi'. Syahdan, tibalah I La Galigo dan didapatinya ribuan perahu di pelabuhan.



Maka La Pallajareng pun segera bertanya kepada petugas penjaga perahu tadi sambil berkata:

"Mengapa gerangan sampai demikian banyak perahu di pelabuhan ini, jumlahnya sampai ribuan buah."



Penjaga perahu itu menyembah sambil berkata:

"Sudah tiga tahun lamanya wahai paduka yang mulia, raja kami mempersiapkan perahu. Baginda bermaksud untuk berlayar ke Tanah Ugi di negerinya I La Galigo Toboto'E I Lasemmaga PassawungngE. Akan diperanginya negri Cina."



Betapa murkanya La Pammusureng mendengar ucapan sang pengawal tadi, maka ditangkapnya lalu diikatkan diatas perahu, Sesudah itu I La Galigo dengan segenap sepupunya mendarat sehingga mengagetkan hati Raja Sunra, Toballa Unnyi'. Merekapun langsung menuju pendopo.

Bingunglah perasaan hati Toballa Unnyi' dan lama barulah ia mengeluarkan suara sambil berkata:

"Tuan-tuan berasal dari mana, dan darimana asal kelahiran tuan-tuan."



I La Galigo menjawab:

"Saya bernama La Puraga, bergelar To Appamaling putera dari La Wajolangi di Marapettang. Tujuan kami kemari ialah ingin menyabung ayam. Kami mendengarkan kabar, tiada terperikan ramainya sabungan ayam di negeri Sunra. Berkisar tujuh puluh pasang ayam jago di adu setiap hari. Benag pengikat taji bertumpuk, patahan taji berceceran di mana-mana. Emas pun tinggal diraup sebagaimana halnya jawawut, setiap orang bebas memasuki gelanggang adu ayam. Itulah yang mendorong kai melakukan pelayaran, mengarungi lautan lepas."



Berkata pula I La Galigo:

"Disebut-sebut pula, bahwa kabarnya Paduka berkeinginan berlayar ke Tanah Ugi, untuk memerangi negeri kekuasaan I La Galigo.....Semoga nian Paduka selamat dalam pelayaran agar kelak dapat menghantarkan saya, karena saya telah datang di Tanah Ugi untuk mengadu ayam dinegerinya I La Galigo. Selama tiga kali kami melepas ayam jago, namun akhirnya saya mengundurkan diri, tanpa berani mengangkat senjata menentang I La Galigo, sebab negeriku kecil dan laskarkupun kurang memadai."



Toballa Unnyi menjawab sambil berkata:

"Rupanya engkau sudah pernah berkunjung ke Tanah Ugi. Harap tuan menceritakan paras muka I La Galigo. Bagaimana gerangan roman mukanya I Lasemmaga. Konon kabarnya I Lasemmaga itu macobo-cobo, sedangkan sepupunya yang tujuh puluh orang itu macariwakka......Kelak semoga akulah yang berhasil tiba di tanah Ugi, untuk memerangi negerinya I La Galigo. Jikalau dewa langit merestui dan tercapai maksud hatiku, maka niscaya kubumihanguskan negerinya Topadammani, lalu kurebut isterinya yang tiga orang itu. Saudaranya akan kujadikan tukang pijat, ibundanya kujadikan juru masak, ayahandanya yang bernama Sawerigading itu kujadikan pengawal kolong istana kerajaanku, sedangkan para anak datu yang tujuh puluh orang itu kutugaskan membajak sawah dan memperbaiki pematang."



Betapa murkanya anak-anak datu yang tujuh puluh orang itu mendengrkan ungkapan kata Toballa Unnyi'. Ketika itu menolehlah La Pananrang sambil memebrikan isyarat dengan kerdipan mata kepada anak-anak datu tadi. Maka meloncatlah La Pammusureng ke depan sambil berkata:

"Mari kita menyabung ayam wahai Toballa Unnyi'. Biar kita meramaikan gelanggang milikmu dengan ayam berlaga. Kelak jikalau engkau sudah berlayar ke Tanah Ugi untuk berperang, maka akan tinggalah pendopo ini dalam keadaan sunyi sepi, tanpa adanya keramaian sabung ayam."



La Pammusureng segera menyambar seekor ayam jago. Demikian pula Toballa Unnyi', lalu keduanya bersama-sama naik keatas gelanggang. Berkatalah Toballa Unnyi':

"Sebutkanlah jumlah taruhan ayam jagomu"



La Pammusureng menjawab sambil berkata:

"Kita pertaruhkan bahtera tumpanganku dengan seluruh perahu yang engkau siapkan berlayar kenegeri Cina'. Kita pertaruhkan antara isterimu dan isteriku. Kita pertaruhkan antara ayahandamu dan ayahandaku. Kita pertaruhkan segenap laskar kita."



Kedua pembesar itupun sepakat, maka tajipun dikenakan pada ayam jago masing-masing, lalu bersama-sama memasuki gelanggang dan melepaskan ayam jagonya.

Hanya tujuh kali kedua ayam jago itu bergebrakan, maka terjengkanglah ayam jago milik La Pammusureng. Toballa Unnyi' bergegas menyambar ayam jagonya, untuk dielu-elukan. Namun secepat kilat La Pammusureng mencabut keris pusaka dan ditebasnya batang leher ayam jago milik Toballa Unnyi, sambil berkata:

"Seri! Aya jago kita sama kuat, wahai paduka yang mulia raja Sunra. Rupanya tidak satupun diantara kita yang ditakdirkan Sang Hyang Dewata untuk menjadi penguasa tunggal."



Toballa Unnyi'pun menyahut:

"Tetapi jelas ayammu mati terkapar diatas tanah, sedangkan yamku mati karena engkau penggal."



La Pammusureng membungkukkan badan, memungut bagkai ayamnya dan tiba-tiba ditimpukkannya ke wajah raja Sunra, disusul dengan tikaman keris pusaka. Masih mujur karena ada pengawal setia raja Toballa Unnyi' bersedia mengorbankan dirinya. Ia menghadang didepan Toballa Unnyi sehingga terbabat keris pusaka milik La Pammusureng. Badannya terpenggal, sepotong jatuh tengkurap, sepotong lagi terlentang. Sambil meludah berkata La Pammusureng:

"Apakah engkau suka atau tidak dengan tindakanku membunuh ayammu, namun rupanya engkau belum mengenal wahai raja sunra, akan I La Galigo Toboto'E I Lasemmaga PassawungE yang engaku selalu imingkan untuk menterang negerinya. Nah....bukalah matamu lebar-lebar dan lihatlah sekarang para anak datu tujuh puluh orang itu dihadapanmu!"



Syahdan, maka para laskar kedua belah pihak lalu saling terjang. Peperanganpun tidak terelakkan lagi. Gemerincingan senjata dan perisai emas beradu begema diangkasa, tidak ubahnya bunyi kerbau yang sedang bertarung. Orang-orang luka berjatuhan, para laskar tidak sempat lagi meneguk air. Keduanya silih berganti terdesak, namun pertempuran berlangsung siang-malam. Pada akhirnya Toballa Unyyi' terpojok bibawah payung kebesarannya. Siddo'minasa TobuloE serta merta mendekatinya dan berniat membunuhnya, namun La Pananrang berkata"

"Hendaknya Toballa Unnyi jangan dibunuh, karena Baginda Opunna Ware agar ia itangkap hidup-hidup untu dibawa pulang ke tanah Ugi, lalu dipertontonkan kepada rakyat Cina, orang yang telah lancang....ungkapan katanya."



Maka ditangkaplah Toballa Unnyi hidup-hidup, lalu dibelenggu. Seluruh laksarnya menyatakan diri takluk sambil bersumpah, "bersedia menerima rencana, rela hancur-binasa, namun takkan pernah lagi berani menentang titisan darah keturunan Sang Manurung di tanah Luwu yang sedang berdomisili di Tanah Ugi.

Maka berlayarlah I La Galigo bersepupu dan segenap laskarnya kembali ke Tanah Ugi. Nantilah di Cina sang tawanan di bunuh setelah disaksikan oleh sgenap rakyat Cina di hadapan bagind Opunna Ware, barulah Toballa Unnyi ditenggelamkan didasar samudera enjadi santapan ikan.

Sesudah itu I La Galigo bersepupu kembali bertolak kembali menuju Sunra Rilau, tempat isterinya, Karaeng Tompo Uleng Mallino.

Konon ceritanya, sudah tujuh bulan lamanya I La Galigo tinggal di Pujananting Sunra Rilau, bercumbu rayu dengan isterinya. Bahkan sudah tiga bulan lamanya Uleng Mallino mengidam.



I La Galigo tidak lagi mengingat isterinya yang tiga orang itu di Tanah Ugi. Malahan sampai-sampai orang tuanyapun tidak dikenang lagi. Ia telah lupa diri sibuk bermesraan tidak henti-hentinya dengan Daeng Mallino.



Terpikir juga dalam hatinya La Galigo:

"Sungguh cantik nian Daeng Mallino, sungguh molek Karaeng Tompo. Betul-betul kembang bilik yang tidak akan pernah layu, selalu segar dan hati ini selalu berkuncup, jika mendampinginya tidur di atas ranjang.




Setelah beberapa lama di Pujananting, La Pananrang lal berkata kepada La Galigo:

"Tidak ada jalan lain bagi kita, kecuali harus kembali dahulu ke Cina', wahai ananda Galigo, untuk menyampaikan laporan kepada ayahandamu Opunna Ware sambil menemui sang isteri yang tiga orang itu di tanah Ugi. Tinggallah ibundamu disana dalam keadaan resah, menantikan kedatanganmu kembali membuang sauh didermaga Tanah Ugi."



I La Galigo membalas:

"Kalau begitu biarlah ananda membawa serta berlayar adinda Daeng Mallino ke Tanah Cina'."



Berkata pula La Pananrang:

"Tidak pantas wahai ananda Galigo jikalau engkau mengajak isterimu berlayar sampai ke Cina'. Tentu ananda cukup maklum dengan pembawaan isteri-isterimu yang ada di Tanah Ugi. I We Lampuce Datu Paccing pemarah, We Tenrimono Datu Tempe adalah orang paling suka mencela, sedangkan I Da Battangeng Punna Lipu'E Cina Rilau cepat tersinggung. Selain itu, pamanda kira bahwa pantanglah bagi seorang wanita hamil untuk mengarungi lautan. Tabu baginya melayari samudera."
I La Galigo pun menoleh kepada isteri kesayangannya sambil berkata:

"Maafkalah daku wahai adinda We Lino. Tenangkanlah perasaan hatimu dan biarkanlah daku berlayar ke Cina'. Kanda sedang kangen kepada ayah kita Opunna Ware suami isteri. Kandapun merasa rindu kepada adik kita We Tenridiyo dan Tenribalobo, demikian pula kanda terkenang kepada kakak kita We Makkawaru."



Sambil tersenyum simpul, membatin Uleng Mallino:

"Pintar nian lelaki ini bertutur kata lagi bijaksana dalam berpikir. Ia rindu kepada isterinya yang tiga orang di negeri Ugi, namun yang diucapkannya iyalah rindu kepada Opunna Ware suami isteri."



Lalu dilanjutkannya berkata dengan lembut kepada suami yang dikasihinya:

"Sesungguhnya hutang itu harus dibayar wahai kanda Galigo. Kalau memang bukan milik sendiri, tentu akan kembali juga kepada pemiliknya. Kakanda datang ibarat angin semilir berhembus sepoi-sepoi, lalu hinggap seperti kupu-kupu."



I La Galigo tidak dapat menahan cucuran air matanya, lalu berkata:

"Hancur binasalah wahai adinda We Lino, sekiranya kanda berkata bohong, dan beromong kosong kepadamu. Kalaupun kanda tak membawamu berlayar, tidak lain hanyalah karena tabu bagi wanita yang hamil menyeberangi lautan. Yakinlah wahai adinda We Lino, bahwa kanda akan kembali ke Pujananting sebelum berlalu bulan mendatang ini."



Dengan lembut, berkatalah Daeng Mallino kepada kakandanya:

Sesungguhnya adinda cukup tahu kebiasaan lelaki dalam berkata. Adinda pn tahu akan keinginan lelaki. Bukankah ayahanda yang menitiskanku juga seorang lelaki.

Memang sudah pembawaan lelaki untuk berkata bohong menyatakan hal yang tidak sebenarnya. Lain dihati lain pula dibibir. Sudah kebiasaan lelaki berkata bohong tiada habis-habisnya jikalau sedang bermesraan di ranjang. Manakala kita sedang bermesraan di atas pembaringan, segala macamlah janji-janji yang muluk-muluk, tidak mungkin berpisah dengan isterinya, sehidup semati. Namun setelah nafsu birahinya sudah terpenuhi, setiap janji-janjinya sudah terlupakan sebelum ia melewati ujung tangga. Sumpah setianya tidak diingat lagi."



Mendengar ucapan ini La Galigo pun serta merta merangkul isterinya, lalu didudukannya diatas pangkuannya. Diciuminya isterinya sambil mengusap-usapnya karena kegembiraan yang meluap-luap. Kemudian ia berkata:

"Kakanda bersumpah wahai adinda We Lino, biarkan bahtera kakanda karam di tengah samudera sebelum tiba di negeri Cina', jikalau sekiranya apa yang kujanjikan itu ternyata bohong.

Kanda mohon maaf wahai adinda We Lino dan teangkanlah perasaan hatimu. Relakanlah kakanda berlayar ke negeri Cina'. Akan kuhadiahkan kepadamu sebanyak tujuh negeri di Luwu, sekian pula banyaknya di Cina. Sekiranya putera kita lahir kelak dengan selamat, namakanlah ia La Mappanganro Ripujananting Dg. Kalalla Rigossabare. Sekiranya ia lahir wanita, berilah ia nama We Lenna Singkerru Ugi Masagalae Ripujananting."



Daeng Mallino menjawab:

"Kalaupun janin dalam kandunganku ini lahir dengan selamat dan ia laki-laki, akan kunamai La Mappanganro TomannippiE Sunra Riaja, karena tak ubahnya dinda hanya bermimpi bersamu tak lebih dari separuh malam di dalam bilikku. Jikalau ia wanita akan kunamai ia We Tenriwakkang Ripuwanna, dengan gelar Daeng Massenge Sibalimuwa RimappajungngE."



La Pananrang membatin dalam hatinya:

"Jikalu dituruti kehendaknya I La Galigo, niscaya kita akan tinggal selama bertahun-tahun di Pujananting, sebelum kembali ke Cina'"



Maka, La Pananrang pun memerintahkan agar seluruh pakaian kebesaran I La Galigo dikumpulkan dan segera berlayar kembali ke tanah Ugi. Daeng Mallino jugalah yang mengenakan mahkota kebesarannya, melilitkan sabuk serta menyelipkan keris pusaka di pinggang suami yang dikasihinya.



Berkatalah La Galigo:

"Sudilah kiranya adinda mengantarkan kanda sampai ke pintu istana. Janganlah kembali kebilik sampai usungan yang membawa diriku lenyap dari pandangan matamu. Berikanlah pula sekapur sirih wahai adinda, sebagai pengganti dirimu mendampingiku sampai ke Cina'."



KAraeng Tompo memperkenankan permintaan suaminya. Dilumatnya sekapur sirih, lalu ampasnya diserahkan kepada I La Galigo untuk dikunyahnya pula. Sesudah itu berangkatlah I La Galigo dengan usungannya menuju WalenrangngE.



Syahdan, maka berlayarlah I La Galigo bersepupu dengan segenap laskarnya. I La Galigo tidak mampu menghilangkan bayangan isterinya yang ditinggalkannya di Sunra.


Setelah berlayar selama puluhan malam tanpa meletakkan dayung, para juru bantu dan juru mudi bergiliran menjalankan tugasnya masing-masing dengan cermat, menghindari kandasnya perahu, maka I La Galigo pun tiba di perairan Cina', lal membuang sauh.



Beliau langsung menuju ke istana kerajaan Latanete, sambil membawa serta Toballa Unynyi yang masih dalam keadaan terbelenggu. Beliau lalu menghadap di muka Baginda Opunna Ware. Setelah duduk dihadapan ayahandanya, ia pun menarik batang hidung Toballa Unnyi sambil meludahi mukanya, lalu berkata :

"Wahai Toballa Unnyi, pandanglah wajah ayahk, orang yang hendak kau jadikan pengawal istana negerimu dan bukalah matamu lebar-lebar agar engkau dapat memandang adikku We Tenridio Tenribalobo yang akan engkau jadikan tukang pijat."



Berkatalah Sawerigading :

"Wahai ananda Galigo janganlah dikau tumpahkan darahnya Toballa Unnyi. Adalah suatu pantangan mengalirkan darah Raja Sunra. Suruhlah pengawal membawanya ke laut lepas yang dalam, kemudian tenggelamkanlah ke dasar samudera."



******************

berikut kisah La Mappanganro ke negeri Cina' menemui ayahndanya La Galigo.


Kata sahibul hikayat, tiga tahun berselang sesudah kelahiran La Mappanganro di Pujananting. Ketika ia mulai menanjak remaja, ia pun bertekad dalam hatinya untuk menyusul ayahandanya ke negeri Cina'. Namun ibundanya tidak memberi restu, karena diketahuinya bahwa letak negeri Cina itu amat jauhnya. Kendatipun demikian La Mappanganro tetap bertekad untuk berlayar, tanpa mengindahkan larangan ibundanya.



Demikian pula halnya dengan Aji Laide ri Wiring Langi' senantiasa timbul dalam hatinya keinginan untuk mengarungi samudera luas menuju ke negeri Cina'. Adapun halnya La Mappanganro ketika tiba dinegeri Cina menyembunyikan identitas dirinya. Ia tidak mau berterus terang kepada ayahandanya. Maka ia pun memasuki ibukota kerajaan di Latanete, dimana ia menantang ayahandanya untuk mengadu ayam.



Syahdan, maka tiga kali berturut-turut ayam jago milik La Mappanganro merubuhkan lawannya, namun tiga kali pla ayam jagonya sendiri di babat putus oleh keris pusaka ayahandanya, sehingga ia terpaksa mengangkat senjata, menantang ayahandanya bersepupu. Maka, pecahlah pertempran sengit antara ayah dan anak kandungnya. Pertempuran it barulah berakhir setelah ada surat penyampaian yang dikirimkan oleh I Yabeng dari Pettala Langit. Satu surat tiba dipangkuan La Mappanganro, sepucuk pla jatuh diatas pangkuan I La Galigo. I La Galigo pun memungut surat tadi lalu membaca isinya dan sesudah diketahui maksudnya, ia pun jat terlentang. Setelah beberapa lama kemudian barulah ia bangkit sambil menarik nafas panjang, lal berkata:

"Celaka! Ternyata putraku telah tiba dari Sunra, sengaja datang mencari ayahandanya, sementara aku tidak mengenalnya."



Lalu disabdakanlah kepada sepupunya :

"Sudilah kiranya dikau wahai kakanda La Sulolipu bersama La Pawennari menghentikan pertempuran dan mendiamkan segenap laskar. Ternyata kita tela memerangi puterak dan negeri Sunra tanpa disadari."



Maka seluruh laskar ditarik mundur dan ditenangkan. Sesudah itu barulah I La Galigo bersama segenap sepupunya berangkat ke pelabuhan, langsung naik ke ats bahtera Wettoimpero Uleng LoloE, kemudian serta merta beliau meraih putranya dan mendudukkan dipangkuannya sambil tak hentinya menciumi wajah sang anak serta diusap-usapnya sambil berkata:

"Wahai anada La Nganro, janganlah hendaknya dikau berkecil hati atas ketololan ayahandamu, sehingga engkau telah kusonsong dengan perang dahsyat dimedan laga. Itu semata-mata karena ayahanda tak mengenalmu, apalagi ananda meyembunyikan identitas diri, sedangkan ayahanda sedemikian dungu tanpa menggunakan akal sehat, sehingga mengangkat senjata dan memerangimu."



La Mappanganro tidak berkata sepatah katapun. Ia tidak sudi menjawab perkataan ayahndanya. Dibebaskan diri dari rangkulan ayahandanya sambil tersedu-sedu memikirkan kebrutalan ayahandanya. I La Galigo meraih dan merangkulnya kembali, lalu dipangkunya kemudian berkata dengan lembut :

"Maafkalah daku wahai ananda La Mappanganro, ananda La Nippi dan hilangkanlah perasaan murkamu kepada ayahanda. Tenangkanlah pikiran dan rinagnkanlah langkahmu, untuk turut ke istana La Tanete. Dika jualah putera mahkota pewaris tampuk kerajaan di Cina berhak atas segenap pengabdian rakyat banyak di Tanah Ugi."



Tetap saja La Nganro tidak sdi membka mulut, ia bngkam seribu bahasa. Air matanya jua bercucuran dengan derasnya. Berkatalah To Tenri Ciling bersama Tolinroije (penasehat La Nganro dari Sunra).

"Jawablah perkataan ayahandamu wahai anada La Mappanganro, jangan sampai dikau menjadi kualat dan terkena kutukan, karena membangkang terhdapa orang tua."



Barulah La Panganro membuka mulut, lalu berkata:

"Bukanla karena murka, bkan pula kebencian maka hamba tak sudi menjawab perkataan ayahanda, melaikan perasaan kecewa, mengenang kebrutalan ayahanda. Jelas tiga kali ayam jagok beroleh kemenangan, namun tiga kali pula ayam jagoku dipenggal kepalanya, malahan beliau tega mengangkat senjata dan memerangi ananda di medan laga."



Serta merta La Galigo meraih puteranya, kemudian dinaikkan ke atas usungan dan dibawanya menuju ke istana raja di Latanete, langsung naik ke Singgasana kerajaan.

Betapa suka citanya Sawerigading suami isteri, melihat kedatangan cucunya sambil berkata :

"Wahai ananda Langanro ananda Lanippi, jangan hendaknya dikau pulang ke negeri Sunra sebelum engkau kujodohkan. Maka carilah wahai ananda Langanro ananda Lanippi puteri-puteri istana yang berkenan dihatimu, nantilah nenekda mempertimbangkannya."


Sudah tiga tahun lamanya La Mappanganro tinggal di Latanete, melepaskan rindu dendamnya kepada ayahandanya, sambil enghabiskan waktunya di arena sabungan ayam. Ia tidak ingat lagi pulang ke Pujananting. Berkatalah Tolinrojie bersama dengan Totenrigiling.



"Maafkanlah pamanda wahai ananda La Nganro. Sebaiknya kita pulang dahulu ke Pujananti. Nun jauh disana tinggallah ibundamu dalam keadaan gelisah, tidak tahu apa yang akan diperbuat, kecuali menangis dengan hati yang gundah gulana, menantikan kedatanganmu kembali merapatkan perahu di pelabuhan”.



Syahdan, La Mappanganro pun bersiap-siap bersama denga seluruh lasykarnya untuk berlayar kembali ke Pujananti, menemi ibndanya.



Selanjutnya kita alihkan perhatian kepada I Lasangiyang ri Wiring-Langi’.



I Lasangiyang berkunjung ke Botting Langi’, di istana neneknya yang bernama We Tenriabeng Daeng Manutte Mallajangnge ri kalempi’na (gaib di dalam biliknya).

Ia mengemukakan maksud hatinya, untuk berlayar ke Tanah Ugi, menapaki jejak langkah ayahandanya. Maka berkatalah We Tenriabeng.

“Berangkatlah wahai ananda Laide ke tanah Ugi, nanti nenekda mengirimkan sebuah bahtera ke Wiring-Langi’ yang akan kau gunakan melayari laut lepas untuk menelusuri perjalanan ayahandamu. Hiburlah kakekmu Opunna Ware di negeri pengasingannya.”



Berkata pla We Tenriabeng:

“Kelak jikalau ananda Laide ananda Sangiyang, telah tiba dengan selamat di tanah Ugi sekalian menambatkan perahu di pelabuhan, maka rahasiakanlah ayahandamu.

Ayahandamu itu telah tersohor ke mana-mana, perihal ulahnya yang brutal bersama sepupu-sepupunya yang pada licik itu, mereka tidak menghormati sesamanya raja berdaulat, satu-satunya raja dibawah kolong langit.”



Sesudah itu Aji Laide memperoleh bahtera yang dijanjikan oleh neneknya, dikirimkannya ke Wiring-Langi’.

Maka berangkatlah ia mengarungi lautan lepas, menuju ke negeri Cina’ untuk menelusuri jejak ayahandanya. Setelah belasan hari Aji Laide dalam pelayaran meninggalkan daerah Wiring Langi’, tiba-tiba ia kematian angina ditengah lautan. Rupanya ia enggan menadahkan telapak tangan ke Petala langit, menghaturkan sembah ke Peretiwi, serta enggan memohon ampunan dari Toddang Tojang. Ia pun tidak sudi memberikan sesajian berupa sebutir telur ke dasar lautan.

Pada saat itu Simpuru Lonang, putera We Tenriabeng sedang melayangkan pandangan dari Petala Langit keseluruh penjuru permukaan laut. Dilihatnya perahu emas tumpangan Aji Laide yang terkatung-katung dipermainkan ombak, kematian angin laut, sedangkan ia enggan menghaturkan sembah sujud kepada Dewata di Petala langit, serta mempersembahkan sesajian sebutir telur ke dasar lautan.

Melihat hal itu Simpur Lonang melontarkan lembing disertai dengan kilat dan guntur.



Betapa kagetnya Aji Laide melihat datangnya petir itu, maka disampoknya petir itu sehingga menyimpang entah kemana. Setelah itu lasykar Aji Laide sudah terlibat pertarungan dengan lasykar Simpur Lonang dari Ruwa Lette.

Berdatangan segenap setan gentayangan dari langit, I Labeccoci, I Suwala, To Alebboreng PolokaliE, tiba pula raja-raja setan membawa anjing pemburu dan jerat.



Melihat keadaan itu, Aji Laide berdiri dari dduknya, lalu menudingkan jari tangannya kepada raja setan Perosola-nya Simpuru Lonang, sambil berkata:

”Lancang benar dikau wahai raja Setan PerosolaE, maka engkau tidak mau mengenal Tuanmu ini dari Wiring langi’ turunan Baginda Sang Manurung di Luwu, yang telah timbul dari ruas Bambu.”



Maka kocar-kacirlah para raja setan, pemberani andalan Simpuru Lonang, kemudian tampil sendiri memimpin pertempran.

Didatangkannya sepasukan lasykar tidak berkaki, tidak berlengan, dan juga tidak berkepala.

Tercekatlah perasaan hati La Massiniala, pengawal andalan Aji Laide sambil berkata:

”Wahai adinda Laide, tampilkan kedepan dan tutrkanlah silsilah keturunan leluhurmu. Sebab, saya menjadi ragu-ragu setelah menyaksikan ulat-ulat berperang tanpa kepala, tanpa kaki dan tangan.”



Maka tampillah I Lasangiyang sambil menuturkan silsilah keturunan leluhurnya:

”Sekiranya kalian yang sedang kuhadapi bertarung berasal dari Petala langit, maka aku adalah keturunan I Lapatoto di Botting ri Langi’, Baginda Raja yang berjodoh dengan Singkeru Wira Datu Palinge di Senrijawa, lalu melahirkan Batara Guru yang manurung di ibu kota kerajaan Luwu. Jikalau kalian adalah mahluk dari Peretiwi, akulah keturunan Lauren Riu dari Uri Liyung, yang kawin dengan We Loppareppa di Peretiwi. Beliau kemudian melahirkan We Nyili’Timo yang muncul dari busa Empong, ersama dengan usungannya, kemudian kawin dengan Batara Guru dan melahirkan Batara Lattu. Kalaupun kalian mahluk Toddang Tojang maka akulah keturunan We Linrutojang di Todang Tojang, kemudian menikah dengan We Malagenni, Paduka yang di Pertuan Raja Samudera yang bertahta di Wera WeroE Ute Ponga. Beliaulah yang kemudian menitiskan We Pada Uleng yang muncul di Sawang-me’ga. Ia kemudian menikah dengan La Urempessi di Natanna Tikka, lalu lahirlah We Datu Sengngeng, yang kawin degan Batara Lattu di Luwu. Dari perkawinan beliau lahirlah puteranya yang bernama Sawerigading, yang menikahi We Cudai di negeri Cina’Punna BolaE ri Latanete, puteri Baginda La Sattumpugi Raja Tanah Ugi suami We Tenri Abang di ibu kota kerajaan Cina. Beliau melahirkan puteranya yang bernama I La Galigo TobotoE I La Semmagga yang menikahi I Dabbatangeng di Cina Rilau. Beliau itulah yang melahirkan daku.”



Terkejutlah perasaan hati Simpru Lonang mendengarkan penuturan tadi. Ia kemudian menarik nafas panjang sambil berkata dalam hati, hampir saja aku celaka. Ternyata dia adalah kemenakanku sendiri yang tiada kukenali dan tanpa memberi peringatan, aku menyerangnya dengan lembing pusaka ditengah lautan. Bahkan kulempari pula denga petir.

Segera Simpuru Lonang berpindah keatas bahtera I Lasangiyang, lalu dirangkulnya Aji Laide serta diciumnya serta diusap-usap punggungnya. Setelah itu ia berkata:

”Tenangkanlah perasaan hatimu wahai ananda Laide, panjanglah usiamu. Kalaupun ada selembar bulu-bulu di badanmu yang gugur, niscaya akan kutancapkan kembali dan sekiranya ada selembar rambutmu yang terputus, niscaya akan kusambungkan kembali.

Maafkanlah Pamanda wahai ananda Laide. Tenangkanlah hatimu, nanti kuberikan kepadamu perisai ajaib, telle dan araso, sebagai obat yang dapat mentatkan kembali luka akibat tebasan senjata tajam ataupun mereka yang sekarat dimedan perang. Lupakanlah kebodohan Pamanda karena tiada mengenal dirimu, sehingga kuserang dengan tombak disertai kilat dan petir, tanpa memberi peringatan terlebih dahulu.”



Sesudah itu Simpuru Lonang segera kembali ke Petala Langit langsung ke Istana Saokutta Pareppa’E.

Bertanyalah We Tenriabeng:

”Dari mana gerangan dikau, wahai ananda Simpuru Lonang. Kelihatan engka barusan terkena asap dupa?”



Simpuru Lonang menyahut sambil berkata:

”Ternyata cucunya ibunda Aji Laide telah berlayar ke Tanah Ugi, menyusuri jejak langkah ayahandanya. Ia kematian angin di tengah lautan, sedangkan ia enggan mempersembahkan sesajian di samudera, maka kuseranglah ia dengan tombak pusaka ’Tanra TelluE’, tanpa peringatan.”



Betapa murkanya We Tenriabeng mendengar keterangan puteranya, sambil berkata:

”Wahai Simpuru Lonang, sekiranya engkau membunuh kemenakanmu, niscaya ibunda kembali ke Luwu, negeriku di atas permukaan bumi.”

Sumber: KBM

Sabtu, 13 November 2010

Lontara Pananrang


PANANRANG TASSIPARIAMAE (8 TAHUN)
Taung Alipu : 1 tetti’na = salasa naomporang Muharram, maraja namaponco bosinna, masero lempe’na, biasa malise pattaungenna, jaji buana ase nenniya taneng-tanenge rilalenna tassipariamae. Iyanae taung kaminang masahoro na malise nenniya madeceng pattaungenna. Jaji asseddinna pallontara pappananrangnge iyanaro naripancaji pammulataung rilalenna sipariamae (8 taung).

Taung H : 5 tetti’na = sabtu naomporangnge muharram, lalo tengnga pattaungenna, masero bosinna, makurang sokku biasa taneng-tanengnge, ajung kajung mabbuai, lalo tengngai buana ase (wasesae-singaseri), biasa sawei lasa-lasae, masero kecce’e.

Taung Jim : 3 tetti’na = kammisi naomporang muharram, situju-tuju bosinna, maponco bare’na, lalo tengnga pattaungenna, jaji buana taneng-tanengnge, iyakiya makurang sokku buana wesesae, bettuanna makurang lise’na galungnge, biasa mapella keadaanna rupataue, parellui ritu simata tomatike, nasaba maega anana mate, masempoi balu-balu’e sibawa anu rianre.

Taung Zei : 7 tetti’na = aseneng naomporang muharram, masero bosinna, maraja lempe’na, biasa riengngala riuwae asewe, biasa makkasolang balawoe, lalotengnga buana wesesae (ase), biasato masero lette, tau malasae magattimui paja.

Taung Daleng Riolo : 4 tetti’na = juma’i naomporang muharram, lalo tengnga bosinna, maponco bare’na, jaji buana taneng-tanengnge, biasa masala buana wesesae, biasa masala buana wesesae, iyakkeppaha engka saisana pallontarae masengngi taung makapa namalamung peri’na ripapole wassele’e namasero pellana tikkana, narekko taddapini lamattanetelangi biasa ritu duppai arelle tauwe, jaji buana taneng-tanengnge, maseroto kecce’e, masempo dalle’i pakkere’e.

Taung Ba : 2 tetti’na = araba naomporang muharram, kerengngi kecce’e, bosinna biasa masero ritasi’e sibawa ripottanangnge nenniya lempe’na maseroto. Biasa senna masala wesesae, biasa duppa warelle tauwe, jaji lise’na taneng-taneng makkalolo’e, lalotengnga buana taneng-taneng mallice-lice’e, pella tikkana biasa temmaka serona, maega senna pattellarenna, iyanaritu taung bawang, bali taung, taung barelle, taung balesui (taung makkasolang), de’to namadeceng buana ajung kajungnge (majarang), biasa masempo anu rianre, saweto lasa-lasae.

Taung Wau : 6 tetti’na = aha’i naomporang muharram, biasa masero basinna, maraja lempe’na, masero kecce’e, lalotangnga pattaungengnge (ase) biasa manre balisue, biasa riengngala maruwae ase, saweto lasa-lasae, peddi matae, maega urane makkandang tau mattampu, biasato mapella keadaangnge.

Taung Daleng Rimunri : 4 tetti’na = juma’i naomporang muharram, lalo tengnga pattaungenna, maponco bosinna, madodong anginna, makurang lempe’na, masero tikka’e, jaji buana taneng-tanengnge, anging bare’e biasa ritu maladde akkasolanna, biasa duppa arelle tauwe, narekko mate ului bare’e, wesesae biasa jaji biasa to sala, masempoi dalle’na pakkere’e, biasato masero hawa kecce’e, biasa mapella keadaangnge.

PAPPAKAINGE

Narekko mattajengngi bosi mappammula ompo siwenninna lettu ompo tellumpenninna uleng Muharram naengka mua bosie namasero, namaraja lempe’na, mannessani ritu tuoulumi pattaungnge namaega mua bosinna rilalenna ritu.



Jaji madeceng manengmui uruwaena tungke-tungke pananrangnge rilalenna sitaungnge ritu. Naiyamua narekko ritajengngi bosinna pattaungengnge mappammula ompo siwenninna lettu ompo tellumpenninna namadodong, maponco bosinna, madodong maponco’to bosinna pananrangnge, mabaiccu’to lempe’na.



Narekko ritajengngi bosinna pattaungengnge ritu mappammula ompo siwenninna lettu ompo tellumpenninna nade’siseng bosinna, mappannessani ritu mateului pattaungengnge, jaji weddingngi jaji timo’e, iyarega serangnge iyanaritu ittana 3 uleng, 5 uleng, 7 uleng, iyarega timo 9 ulengna. Makkutoparo de’nappabbati sangadinna elonapa Puangnge Jaji, Amin, Wassalam...



PAPPAKAINGE



Naiya riasengnge Nakase Taung iyanaritu: sitaung nawawa akkasolanna, iga-iga tau missengngi narekko maelo’i pugau seddi hajat, pada-padanna maelo’i mappabbotting, biasa tomatoatta de’ nallorangngi ripugau, nasaba’ mabbiasa engka akkasolanna ritu.

Makkutoparo riasengnge Nakase Uleng (garutu) iyanaritu 3 uleng nawawa akkasolanna. Iga-iga tau maelo pugau seddi hajat iyarega jama-jamang pada-padanna mappabbotting iyarega maelo lao jokka-jokka mabela (lao sompe), biasa tomatoatta de’nallorangngi riougau nasaba mabbiasa engka ritu akkasolanna.

Nasaba engkanna akuasangenna Puang Allah Ta’ala, narimakkuannanaro biasa engka jaji bahaya narekko napugau’i tauwe rilalenna ritu (esso Nakase Taung sibawa Nakase Uleng (garutu).

OMPORENNA ULENG MADECENGNGE / MAJA’E AGI-AGI MAELO RIPUGAU RILALENNA RITU



Siwenni : esso anynyarang asenna, ana-ana jaji malampe sunge’i pegaui passurong Puang, matturu’i ripajajianna, masempo dalle’i nasaba esso ripancajinna Nabi Adam. Agi-agi pura tempeddingngi riappammulang.

Duampenni : esso jonga asenna, najajiangngi ana’ pertama, maupe’i namasiga mallakkai, apa iyanaritu naripancaji neneta Hawa. Agi-agi madecengnge wedding mua ripugau, rilaoangngi sompe, runtu’ki alabang, tapi de’ nawedding rilaoangngi mammusu.

Tellumpenni : esso macang asenna, nakase’i nasaba esso najajiangnge Kabil ana’na Adam. Ana-ana jaji madorakai ripajajianna, maja’i riappabbottingeng, majai riattanengeng, rilaoangngi mabela nakennai sukkara, iyanaro naripassu’ Adam-Hawa pole ri surugana Puang Allah Ta’ala.

Eppa wenninna : esso meyong asenna, najajiangngi ana baraniwi, makessingngi riappanorang bine, tapi ompo 4-5-6-7-13-15-17 majai riappammulang mattaneng ase nasaba nanrei ule, makessing muto rilaoang mabela, narekko tau kawing pangkagarengngi nadenaullei massarang, narekko riakkalangngi inreng denariullei waja’i.

Lima ompo : esso kalapui asenna, najajiangngi ana madorakai ripajajianna, nakase’i de nawedding riappanorang bine.

Enneng ompo : esso tedong asenna, makessing mua rilaoang mabela, runtu’ki alabang, makessing muto rikawingang, najajiang ana tanra maccai mabbicara toriolo, pugau’i passurong Puang, tapi kasi-asiwi, makessingngi riangelliang tedong (saping) iyarega olo-kolo mawijai, makessingngi riakkabbureng wakke nasaba teai lobbang wakke’na ritu, makessing muto riappanorang bine (ase).

Pitu ompo : esso balawo asenna, tempeddingngi riakkalang inreng nasaba tenriullei waja’i, maja’ toi riellauang wae galung nasaba nanrei kare ase ritu, tapi makessingngi riakkebbureng pakkakkasa no’ ri salo’e/ri tasi’e, madeceng muto rikawingeng nasaba weddingngi sugi.

Aruwa ompo : esso sapingngi asenna, ana-ana jaji malomo patulungngi ripadanna tau, masempo dalle’i, madecengngi rikawingeng nenniya riappatettongeng bola nasaba mattiro camming asenna, madeceng muto rilaoang sompe (tega-tega), madeceng riappammulang balu-balu.

Asera ompo : esso asui asenna, madecengngi riappammulang mattaneng rigalungnge sibawa waena galungnge mappammula malaki’ wae galung, mauni sibotolo’ muna naripenre riakkeangnge, najajiangngi ana-ana madorakai ripajajianna sibawa ri Puang Allah Ta’ala. Narekko rikawingengngi malomoi massarang iyarega matei masitta makkunraie.

Seppulo ompo : esso nagai asenna, maja’i riappammulang mattaneng rigalungnge/ridare’e, makessing tosi rilaloang mangolo riarungnge, makessing riabbottingeng, najajiangngi ana’ maupe’i.

11 ompo : esso bembe’i asenna, makessingngi nasaba iyanaritu nariputtama Nabi Adam ri surugae, najajiangngi ana’ turu’, maupe’i, malampe sunge’i napugau’i passuroangna Puang Allah Ta’ala.

12 ompo : esso gajai asenna, temmagagai tau laloe, toriwelaiye, tau ripoleiye nasaba iya najajiang Nabi Muhammad SAW, najajiang ana maupe’i pogau’i passuroang, madeceng riappanorang bine, agi-aginna madecengngi nasaba barakka’na Nabitta Muhammad SAW.

13 ompo : esso singa asenna, nakase’i (maja’i) nasaba esso ritununna api Nabi Ibrahim, ripakkerina Raja Namrud, najajiangngi ana mabbiasai ujangeng, rilaoangngi mabela biasai nakennaki lasa ritengnga laleng atau mateki rilaotta.

14 ompo : esso serigala asenna, sininna jama-jamang madecengnge salama’i ripugau, makessingngi rilaoang mammusu, dangkang, sibawa rikawingeng nasaba iyanaritu narijajiang Nabi Sulaiman, najajiangngi ana sugi’i.

15 ompo : esso iti asenna, ana-ana jaji pogau’i passuroang, naniriwi pappesangka, turu’i ripajajianna, riammasei ri padanna tau, macanti’i tappana nasaba najajiangnge Nabi Yusuf, tempeddingngi riappatettongeng bola nasaba teyai nasalai lasa punnana, rilaoangngi sompe nakennaki lasa atau halangeng.

16 ompo : esso bawi asenna, nakase’i nasaba esso ribuanna Nabi Yusuf rikalebbongnge ri padaranena, ana-ana jaji ujangengngi, agi-agi maja’i ripugau kecuali mattaneng ikkaju ki’, mabbuai, madecengngi riakkabbureng onrong doi’ teyai lobbang.

17 ompo : esso jarakenniai asenna, madecengngi rilaoang mangolo riarungnge, rilaoang madduta teyai tenritarima, rilaoangngi riwanua laingnge madecengngi.

18 ompo : esso balipeng asenna, nakase’i nasaba esso najajiangnge Nabi Isa, najajiangngi ana macanti’i, iyatonaro naripancaji matanna essoe, salama’i rilaoang mabela atau sompe, narekko jajiang ana napeddiri ati tomatoanna, tapi pogau’i passuroang Puang Allah Ta’ala.

19 ompo : esso lancengngi asenna, najajiang ana pogau’i passurongna Puang Allah Ta’ala, malomoi sugi, malomo atiwi ripadanna tau sibawa ripajajianna, esso najajiangnge Nabi Yakub, makessingngi rilaoang dangkang.

20 ompo : esso ula’ asenna, makessing ladde rilaoang madduta, najajiangngi ana teyai tessugi, esso najajiangnge Nabi Ismail.

21 ompo : esso tau asenna, nakase’i nasaba esso najajiangnge Fir’auna, tau rigellie ri Puang Allah Ta’ala, narekko riappattettongengngi bola teyai tennanre api, narekko riappammulangngi tennung atau riassapparengngi tennung teyai tenriaddorang tau mate, ponco’na ada appakeng parewa agi-agi aja’na naripammulai, kuaenna parewa bola tempeddingngi riala, pada-padai narekko ompo siwenniwi akerekenna.

22 ompo : esso aloi asenna, narekko anu madecengmua, salama’i ripugau’, esso naripancajianna malaika’e, najajiangngi ana tanra turu’i ripajajianna, turusitoi passurong Puang Allah Ta’ala, salama’i rilaoang sompe, rilaoangngi mammusu ricau’i balie, ko ‘idi rilaoi idi tosi ricau’.

23 ompo : esso incale asenna, makessingngi riabbottingeng, sawei mawase’ki, riangelliang appakeng temmaradde’i ridi, tapi makessingngi riangelliang balu-balu, magatti’i tarala namakessing sarona.

24 ompo : esso balipengi asenna, makessingngi riappabbottingeng, najajiangngi ana masempo dalle’i nasaba timunnami kedo jajisi pattujunna, makessingto riangelliang alo-kolo nasaba mawijai ritu.

25 ompo : esso balawoi asenna, nakase’i nasaba nakennai lupu kampongnge, pituttaungngi tika, najajiangngi Nabi Ibrahima, ana jaji matturu’i ri Puang Allah Ta’ala sibawa topajajianna, narekko riappabbottingengngi teyai temmassarang, pangkagarengngi mallaibine, makessingi rilaoang massinge pappainreng nasaba teyai tenriwaja, mauni maega muna.

26 ompo : esso serigala asenna, makessingi rilaoangngi sompe, riabbotingengngi ana jawiji sugi, makessing riattanengeng agi-agi makessing maneng mui ri jama.

27 ompo : esso Nabi asenna, makessingngi rilaoang mabela, riappangujuang menre ritana Mekkah, makessingto riappanorang bine, riappattettongeng bola, riakkalang inreng nasaba masitta’i riwaja, riappakkennang pangulu bangkung, passorong bessi, riakkabbureng addeneng, massuro mallanro kawali tappi.

28 ompo : esso kalapu asenna, najajiang ana pogau’i passurong, makessingngi riakkabbureng wakke olokolo nasaba mawijai, makessing to riabbottingeng.

29 ompo : esso sikadongngi asenna, madeceng riallantikeng tomapparenta nasaba mattuppu batui batena mapparenta, madeceng to riangelliang balu-balu nasaba magatti’i taralla, naekiya maja’i riangelliang appakeng nasaba nalai pelolang atau tabbei, madecetto rilaoang sompe, riattanengeng, agi-agi jama-jamang madeceng manengi ritu.

30 ompo : esso manu asenna, makessingi rilaoang dangkang nasaba salama’i iyatonaro naripaturung dalle’e risininna ripancajie, makessingngi riellau doangeng rimunri sempajang assara’, iyatonae esso kaminang macoa, appettung bicaratoi sininna pananrangnge rilangi’e, ana jaji malampe sunge’i namasempo dalle’i napugau’i passuroanna Puang Allah Ta’ala, iyatona riaseng tepu lotong.

Dalam Versi Bahasa Indonesia.

Lontara’ Laongruma adalah naskah yang memuat tentang tata cara bercocok tanam, perubahan iklim, siklus musim tanam, baik tanaman palawija maupun tanaman padi. Naskah ini juga memuat tentang prakiraan serangan hama tanaman bila ditanam pada waktu tertentu dalam bulan-bulan tertentu, dan bahkan juga dapat diprediksi musim-musim wabah penyakit (sai =Bugis).

Naskah-naskah klasik di Sulawesi Selatan, menurut jenis dan isinya dapat dikategorikan sebagai berikut :



Lontara’ Patturiolong/ade’ (memuat tentang aturan-aturan hukum dalam hubungan sosial kemasyarakatan),

Lontara’ Pabbura (memuat tentang ramuan-ramuan obat/obat-obatan),



Lontara’ Bilang (memuat tentang catatan harian/agenda peristiwa penting dalam kerajaan),

Pappaseng (memuat tentang pesan-pesan/nasehat orang-orang bijak),

Kutika (memuat tentang waktu/hari yang baik dan buruk atau tentang nasib dan peruntungan),



Lontara’ Laongruma/Pananrang (memuat tentang tata cara bercocok tanam, iklim dan curah hujan). (H.Johan Nyompa, 1986: 4)

Ompona Muharram = Terbitnya bulan Muharram.

Apabila terbitnya bulan muharram jatuh pada:



Hari Sabtu; maka musim dingin akan panjang, panen padi melimpah ruah, dan tentram kerajaan.

Hari Ahad; musim sangat dingin terutama yang tinggal dibantaran sungai, serta buah-buahan melipah ruah.

Hari Senin; wabah penyakit meraja lela, banyak orang yang meninggal, kurang curah hujannnya, banyak orang yang melahirkan anaknya laki-laki, terjadi keresahan atau kesusahan dalam kampong.

Hari Selasa; tidak ada hasil pada musim timur, banyak curah hujan dan petirnya, banyak orang yang sakit akan tetapi tidak sampai meninggal.

Hari Rabu; musim dinginnya kurang, mudah mencari reseki.

Hari Kamis; tidak ada hasil pada musim timur, banyak orang yang melahirkan dan buah-buahan melipah.

Hari Jumat; para pedagang bakal meraup keuntungan besar, bahkan semua orang meskipun yang lemah juga tetap ada reskinya, hasil panen juga melimpah, serta buah-buahan juga melimpah.

Penanggalan hari satu sampai tiga puluh :



Tanggal 1;Esso annyaranngi; tidak baik untuk merantau, baik untuk urusan pemerintahan, hari kelahiran Adam

Tanggal 2 ; Esso jongai asenna; baik untuk perkawinan, baik untuk jualan, hari kelahiran Hawa

Tanggal 3 ; Esso sikui asenna; tidak baik untuk semua jenis pekerjaan,

Tanggal 4 ; Esso meongngi asennna; baik untuk membangun rumah, pernikahan

Tanggal 5 ; Esso ulai asenna; semua yang dikerjakan tidak baik, tenggelamnya nabi Nuh

Tanggal 6 ; Esso tedongngi asenna; baik untuk pembelian kerbau, tidak baik untuk merantau, dan membeli pakaian

Tanggal 7 ; Esso balawoi asennna; bila beutang tidak dapat diabayar

Tanggal 8 ; Esso Banua alipengngi asennna; baik untuk bepergian, pernikahan.

Tanggal 9 ; Esso nagai asenna; bagus untuk bepergian

Tanggal 10 ; Esso nagai asenna; baik untuk meratau, mendirikan rumah, menanam

Tanggal 11 ; Esso macangngi asenna; hari masuknya surga Nabi Adam, baik untuk kembali ke pantai

Tanggal 12 ; Esso macangngi asenna; baik untuk jaual-jualan

Tanggal 13 ; Esso gajai asenna; tidak baik untuk merantau, kurang kebaikan.

Tanggal 14 ; Esso pulandoi asenna; baik untuk semua pekerjaan keculai merantau

Tanggal 15 ; Esso balei asenna; baik untuk membuat perahu

Tanggal 16 ; Esso bawi asenna; baik untuk menanam dan tidak dengan yang lainnya

Tanggal 17 ; Esso jarikaniai asenna; baik untuk semua pekerjaan termasuk merantau, melamar, menghadap Raja.

Tanggal 18 ; Esso balipengngi asenna; baik untuk merantau, pernikahan, mendirikan rumah, dan menanam.

Tanggal 19 ; Esso lawenngi asenna; bagus untuk melamar

Tanggal 20 ; Esso ala-alai asenna; baik untuk melamar orang akan senang menerima kedatangan kita.

Tanggal 21 ; Esso nahase; kurang kebaikannnya

Tanggal 22 ; Esso assiuddaningeng asenna; baik untuk merantau, mendirikan rumah, pernikahan, dan menanam

Tanggal 23 ; Esso ilesso’I asenna; baik untuk merantau, menanam, pernikahan, dan tidak baik untuk yang lain.

Tanggal 24 ; Esso pariai asenna; kurang kebaikan

Tanggal 25 ; Esso Pasessoroa asenna; kurang kebaikan

Tanggal 26 ; Esso suniai asenna; baik untuk merantau,menanam, kalau berutang akan cepat dibayar, baik untuk nelayang

Tanggal 27 ; Esso ulai asenna; semua yang dikerjakan akan baik, merantau, menanam, kalau berutang akan cepat dibayar

Tanggal 28 ; Esso Alapung asenna; semua yang dikerjakan akan baik, merantau, menanam, kalau berutang akan cepat dibayar

Tanggal 29 ; Esso itii asenna; tidak baik untuk merantau, kurang kebaikan.

Tanggal 30 ; Esso nanu’ asennna; baik untuk menebang kayu, tidak dimakan rayap, kalau ada anak yang lahir akan murah reskinya.

Dalam lontara pananrang, setiap hari mulai jumat sampai kamis dibagi kedalam lima waktu yaitu



Pagi,

Antara pagi dan tengah hari (abbue-bueng),

Tengah hari,

Lewat tengah hari,

Sore hari.

Semoga Bermanfaat.



Sumber


* http://www.abdiredja.co.cc/


* Forum Komunitas Bugis - Makassar
"Kisah Perang Antara Dua Pemuda Bugis Raja-Raja atas Putri." Berasal dari Sulawesi Selatan (Sulawesi), orang Bugis mulai bermigrasi ke Semenanjung Melayu di abad seventheenth akhir, melarikan diri dari perang saudara dan hilangnya jaringan perdagangan mereka rempah-rempah ke Perusahaan India Timur Belanda. Di semenanjung Melayu, Bugis menjadi kekuatan politik utama, bahkan pendiri dinasti politik mereka sendiri dalam apa yang sekarang menjadi negara bagian Selangor. Manuskrip ini Bugis adalah salah satu dari sepuluh yang dibeli di Singapura oleh Ekspedisi Wilkes pada tahun 1842. Ditulis dalam bahasa Bugis dalam sebuah skrip yang diturunkan dari India, manuskrip ini langka adalah contoh penting dari sastra abad kesembilan belas dari diaspora Bugis. (Bugis Naskah Koleksi, Divisi Asia)
ULEBBIRENGNI TELLENG NATO'WALIE

LEBIH BAIK TENGGELAM DARIPADA SURUT LANGKAH

Ungkapan bugis diatas menggambarkan sifat manusia bugis yang teguh akan pendirian, konsisten terhadap kata-kata serta memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi.
Karena memiliki pendirian teguh,sikap konsisten, dan tanggung jawab, maka tidak jarang akibat yang ditimbulkannya pun sangat besar.
Hal2 tersebut merupakan SIRI' bagi manusia bugis jika mereka tidak bisa menepatinya/melanjutkannya.
Tambahkan keterangan gambar
ULEBBIRENGNI TELLENG NATO'WALIE

LEBIH BAIK TENGGELAM DARIPADA SURUT LANGKAH

Ungkapan bugis diatas menggambarkan sifat manusia bugis yang teguh akan pendirian, konsisten terhadap kata-kata serta memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi.
Karena memiliki pendirian teguh,sikap konsisten, dan tanggung jawab, maka tidak jarang akibat yang ditimbulkannya pun sangat besar.
Hal2 tersebut merupakan SIRI' bagi manusia bugis jika mereka tidak bisa menepatinya/melanjutkannya.

Senin, 18 Oktober 2010

Kitab Negara-Kertagama (Terjemahan)

Negarakertagama merupakan kakawin yang menceritakan kisah Raja Majapahit, Hayam Wuruk yang melakukan pelesiran ke daerah Blambangan dan dalam perjalanan pulang beliau singgah di Singosari. Dalam naskah ini juga dikisahkan peranan patih Gajah Mada sebagai perdana Mentri yang mumpuni. Masih dalam naskah Negarakertagama ini dikisahkan bahwa Prabu Hayam Wuruk sebagai penguasa yang sangat adil dalam memerintah dan taat menjalankan aturan agama. Sebagai contoh Raja Hayam Wuruk menghukum mati Demung Sora yang merupakan seorang menterinya, karena dianggap bersalah setelah membunuh Mahesa Anabrang yang ternyata tidak berdosa (lempir ke 73). Dengan demikian Demung Sora telah telah melanggar pasal Astadusta dari kitab Undang undang Kitab Kutara Manawadarmasastra itu. Naskah Negarakertagama yang merupakan karya pujangga besar empu Prapanca ini kini tersimpan di Perpustakaan Nasional RI dan menjadi salah satu koleksi kebanggaannya.
Berikut adalah terjemahan lengkap kitab Negarakertagama:



“Om awignam astu namas sidam”

Sembah puji dari hamba yang hina ini ke bawah telapak kaki sang pelindung jagat. Raja yang senantiasa tenang tenggelam dalam samadi, raja segala raja, pelindung orang miskin, mengatur segala isi negara. Sang dewa-raja, lebih diagungkan dari yang segala manusia, dewa yang tampak di atas tanah. Merata, serta mengatasi segala rakyatnya, nirguna bagi kaum Wisnawa, Iswara bagi Yogi, Purusa bagi Kapila, hartawan bagi Jambala, Wagindra dalam segala ilmu, dewa Asmara di dalam cinta berahi. Dewa Yama di dalam menghilangkan penghalang dan menjamin damai dunia.

Demikianlah pujian pujangga sebelum menggubah sejarah raja, kepada Sri Nata Rajasa Nagara, raja Wilwatikta yang sedang memegang tampuk tahta. Bagai titisan Dewa-Batara beliau menyapu duka rakyat semua. Tunduk setia segenap bumi Jawa bahkan seluruh nusantara. Pada tahun 1256 Saka, beliau lahir untuk jadi pemimpin dunia. Selama dalam kandungan di Kahuripan telah tampak tanda keluhuran. Bumi gonjang-ganjing, asap mengepul-ngepul, hujan abu, guruh halilintar menyambar-nyambar. Gunung Kelud gemuruh membunuh durjana, penjahat musnah dari negara. Itulah tanda bahwa Sanghyang Siwa sedang menjelma bagai raja besar. Terbukti, selama bertakhta seluruh tanah Jawa tunduk menadah perintahnya. Wipra, satria, waisya, sudra, keempat kasta sempurna dalam pengabdian. Durjana berhenti berbuat jahat takut akan keberanian Sri Nata. Sang Sri Padukapatni yang ternama adalah nenek Sri Paduka. Seperti titisan Parama Bagawati memayungi jagat raya. Selaku wikuni tua tekun berlatih yoga menyembah Buda. Tahun 1272 kembali beliau ke Budaloka. Ketika Sri Padukapatni pulang ke Jinapada dunia berkabung. Kembali gembira bersembah bakti semenjak Sri Paduka mendaki takhta. Girang ibunda Tri Buwana Wijaya Tungga Dewi mengemban takhta bagai rani di Jiwana resmi mewakili Sri Narendraputra.

Beliau bersembah bakti kepada ibunda Sri Padukapatni. Setia mengikuti ajaran Buda, menyekar yang telah mangkat. Ayahanda Sri Paduka Prabu ialah Prabu Kerta Wardana. Keduanya teguh beriman Buda demi perdamaian praja. Paduka Prabu Kerta Wardana bersemayam di Singasari. Bagai Ratnasambawa menambah kesejahteraan bersama. Teguh tawakal memajukan kemakmuran rakyat dan negara. Mahir mengemudikan perdata bijak dalam segala kerja. Putri Rajadewi Maharajasa, ternama rupawan. Bertakhta di Daha, cantik tak bertara, bersandar enam guna. Adalah bibi Sri Paduka, adik maharani di Jiwana. Rani Daha dan rani Jiwana bagai bidadari kembar.

Laki sang rani Sri Wijayarajasa dari negeri Wengker. Rupawan bagai titisan Upendra, mashur bagai sarjana. Setara raja Singasari, sama teguh di dalam agama. Sangat mashurlah nama beliau di seluruh tanah Jawa. Adinda Sri Paduka Prabu di Wilwatikta : Putri jelita bersemayam di Lasem. Putri jelita Daha cantik ternama. Indudewi putri Wijayarajasa. Dan lagi putri bungsu Kerta Wardana. Bertakhta di Pajang, cantik tidak bertara. Putri Sri Baginda Jiwana yang mashur. Terkenal sebagai adinda Sri Paduka. Telah dinobatkan sebagai raja tepat menurut rencana. Laki tangkas rani Lasem bagai raja daerah Matahun. Bergelar Rajasa Wardana sangat bagus lagi putus dalam daya raja dan rani terpuji laksana Asmara dengan Pinggala. Sri Singa Wardana, rupawan, bagus, muda, sopan dan perwira bergelar raja Paguhan, beliaulah suami rani Pajang. Mulia pernikahannya laksana Sanatkumara dan dewi Ida. Bakti kepada raja, cinta sesama, membuat puas rakyat. Bre Lasem menurunkan putri jelita Nagarawardani Bersemayam sebagai permaisuri Pangeran Wirabumi. Rani Pajang menurunkan Bre Mataram Sri Wikrama Wardana bagaikan titisan Hyang Kumara, wakil utama Sri Narendra.

Putri bungsu rani Pajang memerintah daerah Pawanuhan. Berjuluk Surawardani masih muda indah laksana lukisan. Para raja pulau Jawa masing-masing mempunyai negara. Dan Wilwatikta tempat mereka bersama menghamba Srinata. Melambung kidung merdu pujian Sang Prabu, beliau membunuh musuh-musuh. Bak matahari menghembus kabut, menghimpun negara di dalam kuasa. Girang janma utama bagai bunga kalpika, musnah durjana bagai kumuda. Dari semua desa di wilayah negara pajak mengalir bagai air. Raja menghapus duka si murba sebagai Satamanyu menghujani bumi. Menghukum penjahat bagai dewa Yama, menimbun harta bagaikan Waruna. Para telik masuk menembus segala tempat laksana Hyang Batara Bayu. Menjaga pura sebagai dewi Pretiwi, rupanya bagus seperti bulan. Seolah-olah Sang Hyang Kama menjelma, tertarik oleh keindahan pura. Semua para putri dan isteri sibiran dahi Sri Ratih. Namun sang permaisuri, keturunan Wijayarajasa, tetap paling cantik paling jelita bagaikan Susumna, memang pantas jadi imbangan Sri Paduka.

Berputralah beliau putri mahkota Kusuma Wardani, sangat cantik rupawan jelita mata, lengkung lampai, bersemayam di Kabalan. Sang menantu Sri Wikrama Wardana memegang hakim perdata seluruh negara. Sebagai dewa-dewi mereka bertemu tangan, menggirangkan pandang. Tersebut keajaiban kota : tembok batu merah, tebal tinggi, mengitari pura. Pintu barat bernama Pura Waktra, menghadap ke lapangan luas, bersabuk parit. Pohon brahmastana berkaki bodi berjajar panjang, rapi berbentuk aneka ragam. Di situlah tempat tunggu para tanda terus menerus meronda jaga paseban. Di sebelah utara bertegak gapura permai dengan pintu besi penuh berukir. Di sebelah timur : panggung luhur, lantainya berlapis batu putih-putih mengkilat. Di bagian utara, di selatan pekan rumah berjejal jauh memanjang sangat indah.

Di selatan jalan perempat : balai prajurit tempat pertemuan tiap Caitra. Balai agung Manguntur dengan balai Witana di tengah, menghadap padang watangan. Yang meluas ke empat arah, bagian utara paseban pujangga dan Mahamantri Agung. Bagian timur paseban pendeta Siwa-Buda yang bertugas membahas upacara. Pada masa grehana bulan Palguna demi keselamatan seluruh dunia. Di sebelah timur pahoman berkelompok tiga-tiga mengitari kuil Siwa. Di selatan tempat tinggal wipra utama tinggi bertingkat menghadap panggung korban. Bertegak di halaman sebelah barat, di utara tempat Buda bersusun tiga. Puncaknya penuh berukir, berhamburan bunga waktu raja turun berkorban. Di dalam, sebelah selatan Manguntur tersekat dengan pintu, itulah paseban. Rumah bagus berjajar mengapit jalan ke barat, disela tanjung berbunga lebat. Agak jauh di sebelah barat daya: panggung tempat berkeliaran para perwira. Tepat di tengah-tengah halaman bertegak mandapa penuh burung ramai berkicau. Di dalam di selatan ada lagi paseban memanjang ke pintu keluar pura yang kedua.

Dibuat bertingkat tangga, tersekat-sekat, masing-masing berpintu sendiri. Semua balai bertulang kuat bertiang kokoh, papan rusuknya tiada tercela. Para prajurit silih berganti, bergilir menjaga pintu, sambil bertukar tutur. Inilah para penghadap : pengalasan Ngaran, jumlahnya tak terbilang, Nyu Gading Jenggala-Kediri, Panglarang, Rajadewi, tanpa upama. Waisangka kapanewon Sinelir, para perwira Jayengprang, Jayagung dan utusan Pareyok Kayu Apu, orang Gajahan dan banyak lagi. Begini keindahan lapangan watangan luas bagaikan tak berbatas. Mahamantri Agung, bangsawan, pembantu raja di Jawa, di deret paling muka. Bayangkari tingkat tinggi berjejal menyusul di deret yang kedua. Di sebelah utara pintu istana di selatan satria dan pujangga. Di bagian barat : beberapa balai memanjang sampai mercudesa.

Penuh sesak pegawai dan pembantu serta para perwira penjaga. Di bagian selatan agak jauh: beberapa ruang, mandapa dan balai. Tempat tinggal abdi Sri Baginda Paguhan bertugas menghadap. Masuk pintu kedua, terbentang halaman istana berseri-seri. Rata dan luas dengan rumah indah berisi kursi-kursi berhias. Di sebelah timur menjulang rumah tinggi berhias lambang kerajaan itulah balai tempat terima tatamu Srinata di Wilwatikta. Inilah pembesar yang sering menghadap di balai witana : Wredamentri, tanda Mahamantri Agung, pasangguhan dengan pengiring Sang Panca Wilwatikta : mapatih, demung, kanuruhan, rangga. Tumenggung lima priyayi agung yang akrab dengan istana. Semua patih, demung negara bawahan dan pengalasan.

Semua pembesar daerah yang berhati tetap dan teguh. Jika datang berkumpul di kepatihan seluruh negara lima Mahamantri Agung, utama yang mengawal urusan negara. Satria, pendeta, pujangga, para wipra, jika menghadap berdiri di bawah lindungan asoka di sisi witana. Begitu juga dua darmadyaksa dan tujuh pembantunya. Bergelar arya, tangkas tingkahnya, pantas menjadi teladan. Itulah penghadap balai witana, tempat takhta yang terhias serba bergas. Pantangan masuk ke dalam istana timur agak jauh dan pintu pertama. Ke Istana Selatan, tempat Singa Wardana, permaisuri, putra dan putrinya. Ke Istana Utara. tempat Kerta Wardana. Ketiganya bagai kahyangan semua rumah bertiang kuat, berukir indah, dibuat berwarna-warni Cakinya dari batu merah pating berunjul, bergambar aneka lukisan. Genting atapnya bersemarak serba meresapkan pandang menarik perhatian. Bunga tanjung kesara, campaka dan lain-lainnya terpencar di halaman. Teratur rapi semua perumahan sepanjang tepi benteng. Timur tempat tinggal pemuka pendeta Siwa Hyang Brahmaraja. Selatan Buda-sangga dengan Rangkanadi sebagai pemuka. Barat tempat para arya Mahamantri Agung dan sanak-kadang adiraja.

Di timur tersekat lapangan menjulang istana ajaib. Raja Wengker dan rani Daha penaka Indra dan Dewi Saci. Berdekatan dengan istana raja Matahun dan rani Lasem. Tak jauh di sebelah selatan raja Wilwatikta. Di sebelah utara pasar: rumah besar bagus lagi tinggi. Di situ menetap patih Daha, adinda Sri Paduka di Wengker. Batara Narpati, termashur sebagai tulang punggung praja. Cinta taat kepada raja, perwira, sangat tangkas dan bijak. Di timur laut rumah patih Wilwatikta, bernama Gajah Mada. Mahamantri Agung wira, bijaksana, setia bakti kepada negara. Fasih bicara, teguh tangkas, tenang, tegas, cerdik lagi jujur. Tangan kanan maharaja sebagai penggerak roda negara. Sebelah selatan puri, gedung kejaksaan tinggi bagus. Sebelah timur perumahan Siwa, sebelah barat Buda. Terlangkahi rumah para Mahamantri Agung, para arya dan satria. Perbedaan ragam pelbagai rumah menambah indahnya pura. Semua rumah memancarkan sinar warnanya gilang-cemerlang. Menandingi bulan dan matahari, indah tanpa upama. Negara-negara di nusantara dengan Daha bagai pemuka. Tunduk menengadah, berlindung di bawah kuasa Wilwatikta.

Kemudian akan diperinci demi pulau negara bawahan, paling dulu Melayu: Jambi, Palembang, Toba dan Darmasraya. Pun ikut juga disebut Daerah Kandis, Kahwas, Minangkabau, Siak, Rokan, Kampar dan Pane Kampe, Haru serta Mandailing, Tamihang, negara perlak dan padang Lawas dengan Samudra serta Lamuri, Batan, Lampung dan juga Barus. Itulah terutama negara-negara Melayu yang telah tunduk. Negara-negara di pulau Tanjungnegara : Kapuas-Katingan, Sampit, Kota Ungga, Kota Waringin, Sambas, Lawai ikut tersebut. Kadandangan, Landa, Samadang dan Tirem tak terlupakan. Sedu, Barune, Kalka, Saludung, Solot dan juga Pasir Barito, Sawaku, Tabalung, ikut juga Tanjung Kutei. Malano tetap yang terpenting di pulau Tanjungpura.

Di Hujung Medini, Pahang yang disebut paling dahulu. Berikut Langkasuka, Saimwang, Kelantan serta Trengganu Johor, Paka, Muar, Dungun, Tumasik, Kelang serta Kedah Jerai, Kanjapiniran, semua sudah lama terhimpun. Di sebelah timur Jawa seperti yang berikut: Bali dengan negara yang penting Badahulu dan Lo Gajah. Gurun serta Sukun, Taliwang, pulau Sapi dan Dompo Sang Hyang Api, Bima. Seram, Hutan Kendali sekaligus. Pulau Gurun, yang juga biasa disebut Lombok Merah. Dengan daerah makmur Sasak diperintah seluruhnya. Bantayan di wilayah Bantayan beserta kota Luwuk. Sampai Udamakatraya dan pulau lain-lainnya tunduk. Tersebut pula pulau-pulau Makasar, Buton, Banggawi, Kunir, Galian serta Salayar, Sumba, Solot, Muar. Lagi pula Wanda (n), Ambon atau pulau Maluku, Wanin, Seran, Timor dan beberapa lagi pulau-pulau lain. Berikutnya inilah nama negara asing yang mempunyai hubungan Siam dengan Ayodyapura, begitu pun Darmanagari Marutma. Rajapura begitu juga Singasagari Campa, Kamboja dan Yawana ialah negara sahabat.

Pulau Madura tidak dipandang negara asing. Karena sejak dahulu menjadi satu dengan Jawa. Konon dahulu Jawa dan Madura terpisah meskipun tidak sangat jauh. Semenjak nusantara menadah perintah Sri Paduka, tiap musim tertentu mempersembahkan pajak upeti. Terdorong keinginan akan menambah kebahagiaan. Pujangga dan pegawai diperintah menarik upeti. Pujangga-pujangga yang lama berkunjung di nusantara. Dilarang mengabaikan urusan negara dan mengejar untung. Seyogyanya, jika mengemban perintah ke mana juga, harus menegakkan agama Siwa, menolak ajaran sesat. Konon kabarnya para pendeta penganut Sang Sugata dalam perjalanan mengemban perintah Sri Baginda, dilarang menginjak tanah sebelah barat pulau Jawa. Karena penghuninya bukan penganut ajaran Buda.

Tanah sebelah timur Jawa terutama Gurun dan Bali, boleh dijelajah tanpa ada yang dikecualikan. Bahkan menurut kabaran begawan Empu Barada, serta raja pendeta Kuturan telah bersumpah teguh. Para pendeta yang mendapat perintah untuk bekerja, dikirim ke timur ke barat, di mana mereka sempat melakukan persajian seperti perintah Sri Nata. Resap terpandang mata jika mereka sedang mengajar. Semua negara yang tunduk setia menganut perintah. Dijaga dan dilindungi Sri Nata dari pulau Jawa. Tapi yang membangkang, melanggar perintah dibinasakan pimpinan angkatan laut yang telah mashur lagi berjasa. Telah tegak teguh kuasa Sri Nata di Jawa dan wilayah nusantara. Di Sri Palatikta tempat beliau bersemayam, menggerakkan roda dunia. Tersebar luas nama beliau, semua penduduk puas, girang dan lega. Wipra pujangga dan semua penguasa ikut menumpang menjadi mashur. Sungguh besar kuasa dan jasa beliau, raja agung dan raja utama. Lepas dari segala duka mengenyam hidup penuh segala kenikmatan. Terpilih semua gadis manis di seluruh wilayah Jenggala Kediri. Berkumpul di istana bersama yang terampas dari negara tetangga. Segenap tanah Jawa bagaikan satu kota di bawah kuasa Sri Paduka.

Ribuan orang berkunjung laksana bilangan tentara yang mengepung pura. Semua pulau laksana daerah pedusunan tempat menimbun bahan makanan. Gunung dan rimba hutan penaka taman hiburan terlintas tak berbahaya. Tiap bulan sehabis musim hujan beliau biasa pesiar keliling. Desa Sima di sebelah selatan Jalagiri, di sebelah timur pura. Ramai tak ada hentinya selama pertemuan dan upacara prasetyan. Girang melancong mengunjungi Wewe Pikatan setempat dengan candi lima. Atau pergilah beliau bersembah bakti ke hadapan Hyang Acalapati. Biasanya terus menuju Blitar, Jimur mengunjungi gunung-gunung permai.

Di Daha terutama ke Polaman, ke Kuwu dan lingga hingga desa Bangin. Jika sampai di Jenggala, singgah di Surabaya, terus menuju Buwun. Pada tahun 1275 Saka, Sang Prabu menuju Pajang membawa banyak pengiring. Tahun 1276 ke Lasem, melintasi pantai samudra. Tahun 1279, ke laut selatan menembus hutan. Lega menikmati pemandangan alam indah Lodaya, Tetu dan Sideman. Tahun 1281 di Badrapada bulan tambah. Sri Nata pesiar keliling seluruh negara menuju kota Lumajang. Naik kereta diiring semua raja Jawa serta permaisuri dan abdi Mahamantri Agung, tanda, pendeta, pujangga, semua para pembesar ikut serta.

Juga yang menyamar, Empu Prapanca, girang turut mengiring paduka Maharaja. Tak tersangkal girang sang kawi, putra pujangga, juga pencinta kakawin. Dipilih Sri Paduka sebagai pembesar kebudaan mengganti sang ayah. Semua pendeta Buda ramai membicarakan tingkah lakunya dulu. Tingkah sang kawi waktu muda menghadap raja berkata, berdamping, tak lain. Maksudnya mengambil hati, agar disuruh ikut beliau ke mana juga. Namun belum mampu menikmati alam, membinanya, mengolah dan menggubah. Karya kakawin, begitu warna desa sepanjang marga terkarang berturut. Mula-mula melalui Japan dengan asrama dan candi-candi ruk-rebah. Sebelah timur Tebu, hutan Pandawa, Daluwang, Bebala di dekat Kanci.

Ratnapangkaja serta Kuti, Haji, Pangkaja memanjang bersambung-sambungan. Mandala Panjrak, Pongglang serta Jingan. Kuwu, Hanyar letaknya di tepi jalan. Habis berkunjung pada candi pasareyan Pancasara, menginap di Kapulungan. Selanjutnya sang kawi bermalam di Waru, di Hering, tidak jauh dari pantai. Yang mengikuti ketetapan hukum jadi milik kepala asrama Saraya. Tetapi masih tetap dalam tangan lain, rindu termenung-menung menunggu. Seberangkat Sri Nata dari Kapulungan, berdesak abdi berarak. Sepanjang jalan penuh kereta, penumpangnya duduk berimpit-impit. Pedati di muka dan di belakang, di tengah prajurit berjalan kaki. Berdesak-desakan, berebut jalan dengan binatang gajah dan kuda.

Tak terhingga jumlah kereta, tapi berbeda-beda tanda cirinya. Meleret berkelompok-kelompok, karena tiap mentri lain lambangnya. Rakrian sang Mahamantri Agung Patih Amangkubumi penata kerajaan. Keretanya beberapa ratus berkelompok dengan aneka tanda. Segala kereta Sri Nata Pajang semua bergambar matahari. Semua kereta Sri Nata Lasem bergambar cemerlang banteng putih. Kendaraan Sri Nata paha bergambar Dahakusuma mas mengkilat. Kereta Sri Nata Jiwana berhias bergas menarik perhatian. Kereta Sri Nata Wilwatikta tak ternilai, bergambar buah mala. Beratap kain geringsing, berhias lukisan mas, bersinar meran indah. Semua pegawai, parameswari raja dan juga rani Sri Sudewi. Ringkasnya para wanita berkereta merah berjalan paling muka.

Kereta Sri Nata berhias mas dan ratna manikam paling belakang. Jempana-jempana lainnya bercadar beledu, meluap gemerlap. Rapat rampak prajurit pengiring Jenggala Kediri, Panglarang, Sedah Bayangkari gemruduk berbondong-bondong naik gajah dan kuda. Pagi-pagi telah tiba di Pancuran Mungkur, Sri Nata ingin rehat. Sang rakawi menyidat jalan, menuju Sawungan mengunjungi kerabat. Larut matahari berangkat lagi tepat waktu Sri Paduka lalu. Ke arah timur menuju Watu Kiken, lalu berhenti di Matanjung. Dukuh sepi kebudaan dekat tepi jalan, pohonnya jarang-jarang. Berbeda-beda namanya Gelanggang, Badung, tidak jauh dari Barungbung. Tak terlupakan Ermanik, dukuh teguh-taat kepada Yanatraya. Puas sang darmadyaksa mencicipi aneka jamuan makan dan minum.

Sampai di Kulur, Batang di Gangan Asem perjalanan Sri Baginda. Hari mulai teduh, surya terbenam, telah gelap pukul tujuh malam Sri Paduka memberi perintah memasang tenda di tengah-tengah sawah. Sudah siap habis makan, cepat-cepat mulai membagi-bagi tempat. Paginya berangkat lagi menuju Baya, rehat tiga hari tiga malam. Dari Baya melalui Katang, Kedung Dawa, Rame, menuju Lampes, Times. Serta biara pendeta di Pogara mengikut jalan pasir lemak-lembut. Menuju daerah Beringin Tiga di Dadap, kereta masih terus lari. Tersebut dukuh kasogatan Madakaripura dengan pemandangan indah. Tanahnya anugerah Sri Paduka kepada Gajah Mada, teratur rapi. Di situlah Sri Paduka menempati pasanggrahan yang tehias sangat bergas. Sementara mengunjungi mata air, dengan ramah melakukan mandi bakti.

Sampai di desa Kasogatan, Sri Paduka dijamu makan minum. Pelbagai penduduk Gapuk, Sada, Wisisaya, Isanabajra, Ganten, Poh, Capahan, Kalampitan, Lambang, Kuran, Pancar, We, Petang. Yang letaknya di lingkungan biara, semua datang menghadap. Begitu pula desa Tunggilis, Pabayeman ikut berkumpul. Termasuk Ratnapangkaja di Carcan, berupa desa perdikan. Itulah empat belas desa Kasogatan yang berakuwu. Sejak dahulu delapan saja yang menghasilkan bahan makanan. Fajar menyingsing, berangkat lagi Sri Paduka melalui Lo Pandak, Ranu Kuning, Balerah, Bare-bare, Dawohan, Kapayeman, Telpak, Baremi, Sapang serta Kasaduran. Kereta berjalan cepat-cepat menuju Pawijungan. Menuruni lurah, melintasi sawah, lari menuju Jaladipa, Talapika, Padali, Arnon dan Panggulan. Langsung ke Payaman, Tepasana ke arah kota Rembang. Sampai di Kemirahan yang letaknya di pantai lautan.

Di Dampar dan Patunjungan Sri Paduka bercengkerama menyisir tepi lautan. Ke jurusan timur turut pasisir datar, lembut-limbur dilintasi kereta. Berhenti beliau di tepi danau penuh teratai, tunjung sedang berbunga. Asyik memandang udang berenang dalam air tenang memperlihatkan dasarnya. Terlangkahi keindahan air telaga yang lambai-melambai dengan lautan. Danau ditinggalkan menuju Wedi dan Guntur tersembunyi di tepi jalan. Kasogatan Bajraka termasuk wilayah Taladwaja sejak dulu kala. Seperti juga Patunjungan, akibat perang belum kembali ke asrama. Terlintas tempat tersebut, ke timur mengikut hutan sepanjang tepi lautan. Berhenti di Palumbon berburu sebentar, berangkat setelah surya larut. Menyeberangi sungai Rabutlawang yang kebetulan airnya sedang surut. Menuruni lurah Balater menuju pantai lautan lalu bermalam lagi. Pada waktu fajar menyingsing, menuju Kunir Basini, di Sadeng bermalam.

Malam berganti malam, Sri Paduka pesiar menikmati alam Sarampuan. Sepeninggal-nya beliau menjelang kota Bacok bersenang-senang di pantai. Heran memandang karang tersiram riak gelombang berpancar seperti hujan. Tapi sang rakawi tidak ikut berkunjung di Bacok, pergi menyidat jalan. Dari Sadeng ke utara menjelang Balung, lerus menuju Tumbu dan Habet. Galagah, Tampaling, beristirahat di Renes seraya menanti Sri Paduka. Segera berjumpa lagi dalam perjalanan ke Jayakreta-Wanagriya. Melalui Doni Bontong. Puruhan, Bacek, Pakisaji, Padangan terus ke Secang. Terlintas Jati Gumelar, Silabango. Ke utara ke Dewa Rame dan Dukun. Lalu berangkat lagi ke Pakembangan. Di situ bermalam, segera berangkat. Sampailah beliau ke ujung lurah Daya. Yang segera dituruni sampai jurang. Dari pantai ke utara sepanjang jalan. Sangat sempit sukar amat dijalani. Lumutnya licin akibat kena hujan. Banyak kereta rusak sebab berlanggar.

Terlalu lancar lari kereta melintas Palayangan. Dan Bangkong dua desa tanpa cerita terus menuju Sarana, mereka yang merasa lelah ingin berehat. Lainnya bergegas berebucalan menuju Surabasa. Terpalang matahari terbenam berhenti di padang lalang. Senja pun turun, sapi lelah dilepas dari pasangan. Perjalanan membelok ke utara melintas Turayan. Beramai-ramai lekas-lekas ingin mencapai Patukangan. Panjang lamun dikisahkan kelakuan para mentri dan abdi. Beramai-ramai Sri Paduka telah sampai di desa Patukangan. Di tepi laut lebar tenang rata terbentang di barat Talakrep Sebelah utara pakuwuan pesanggrahan Sri Baginda. Semua Mahamantri Agung mancanagara hadir di pakuwuan. Juga jaksa Pasungguhan Sang Wangsadiraja ikut menghadap. Para Upapati yang tanpa cela, para pembesar agama. Panji Siwa dan Panji Buda faham hukum dan putus sastera. Sang adipati Suradikara memimpin upacara sambutan.

Diikuti segenap penduduk daerah wilayah Patukangan. Menyampaikan persembahan, girang bergilir dianugerahi kain Girang rakyat girang raja, pakuwuan berlimpah kegirangan. Untuk pemandangan ada rumah dari ujung memanjang ke lautan. Aneka bentuknya, rakit halamannya, dari jauh bagai pulau. Jalannya jembatan goyah kelihatan bergoyang ditempuh ombak. Itulah buatan sang arya bagai persiapan menyambut raja. Untuk mengurangi sumuk akibat teriknya matahari Sri Paduka mendekati permaisuri seperti dewa-dewi. Para putri laksana apsari turun dari kahyangan. Hilangnya keganjilan berganti pandang penuh heran cengang. Berbagai-bagai permainan diadakan demi kesukaan. Berbuat segala apa yang membuat gembira penduduk. Menari topeng. bergumul, bergulat, membuat orang kagum. Sungguh beliau dewa menjelma sedang mengedari dunia. Selama kunjungan di desa Patukangan Para Mahamantri Agung dari Bali dan Madura.

Dari Balumbung, kepercayaan Sri Paduka Mahamantri Agung seluruh Jawa Timur berkumpul. Persembahan bulu bekti bertumpah-limpah. Babi, gudel, kerbau, sapi, ayam dan anjing. Bahan kain yang diterima bertumpuk timbun. Para penonton tercengang-cengang memandang. Tersebut keesokan hari pagi-pagi. Sri Paduka keluar di tengah-tengah rakyat. Diiringi para kawi serta pujangga. Menabur harta membuat gembira rakyat. Hanya pujangga yang menyamar Empu Prapanca sedih tanpa upama Berkabung kehilangan kawan kawi-Buda Panji Kertayasa. Teman bersuka-ria, ternan karib dalam upacara gama. Beliau dipanggil pulang, sedang mulai menggubah arya megah. Kusangka tetap sehat, sanggup mengantar aku ke mana juga. Beliau tahu tempat-tempat mana yang layak pantas dilihat. Rupanya sang pujangga ingin mewariskan karya megah indah. Namun mangkatlah beliau, ketika aku tiba, tak terduga. Itulah lantarannya aku turut berangkat ke desa Keta. Melewati Tal Tunggal, Halalang panjang. Pacaran dan Bungatan Sampai Toya Rungun, Walanding, terus Terapas, lalu beralam. Paginya berangkat ke Lemah Abang, segera tiba di Keta.

Tersebut perjalanan Sri Baginda ke arah barat. Segera sampai Keta dan tinggal di sana lima hari. Girang beliau melihat lautan, memandang balai kambang. Tidak lupa menghirup kesenangan lain sehingga puas. Atas perintah sang arya semua Mahamantri Agung menghadap. Wiraprana bagai kepala upapati Siwa-Buda. Mengalir rakyat yang datang sukarela tanpa diundang. Membawa bahan santapan, girang menerima balasan. Keta telah ditinggalkan. Jumlah pengiring malah bertambah. Melintasi Banyu Hening, perjalanan sampai Sampora. Terus ke Daleman menuju Wawaru, Gebang, Krebilan. Sampai di Kalayu Sri Paduka berhenti ingin menyekar. Kalayu adalah nama desa perdikan kasogatan. Tempat candi pasareyan sanak kadang Sri Paduka Prabu.

Penyekaran di pasareyan dilakukan dengan sangat hormat. “Memegat sigi” nama upacara penyekaran itu. Upacara berlangsung menepati segenap aturan. Mulai dengan jamuan makan meriah tanpa upama. Para patih mengarak Sri Paduka menuju paseban. Genderang dan kendang bergetar mengikuti gerak tandak. Habis penyekaran raja menghirup segala kesukaan. Mengunjungi desa-desa disekitarnya genap lengkap. Beberapa malam lamanya berlumba dalam kesukaan. Memeluk wanita cantik dan meriba gadis remaja. Kalayu ditinggalkan, perjalanan menuju Kutugan. Melalui Kebon Agung, sampai Kambangrawi bermalam. Tanah anugerah Sri Nata kepada Tumenggung Nala. Candinya Buda menjulang tinggi, sangat elok bentuknya. Perjamuan Tumenggung Empu Nala jauh dari cela. Tidak diuraikan betapa lahap Sri Baginda bersantap. Paginya berangkat lagi ke Halses, Berurang, Patunjungan. Terus langsung melintasi Patentanan, Tarub dan Lesan.

Segera Sri Paduka sampai di Pajarakan, di sana bermalam empat hari. Di tanah lapang sebelah selatan candi Buda beliau memasang tenda. Dipimpin Arya Sujanotama para mantri dan pendeta datang menghadap. Menghaturkan pacitan dan santapan, girang menerima anugerah uang. Berangkat dari situ Sri Paduka menuju asrama di rimba Sagara. Mendaki bukit-bukit ke arah selatan dan melintasi terusan Buluh. Melalui wilayah Gede, sebentar lagi sampai di asrama Sagara. Letaknya gaib ajaib di tengah-tengah hutan membangkitkan rasa kagum rindu. Sang pujangga Empu Prapanca yang memang senang bermenung tidak selalu menghadap. Girang melancong ke taman melepaskan lelah melupakan segala duka. Rela melalaikan paseban mengabaikan tata tertib para pendeta. Memburu nafsu menjelajah rumah berbanjar-banjar dalam deretan berjajar. Tiba di taman bertingkat, di tepi pesanggrahan tempat bunga tumbuh lebat.

Suka cita Empu Prapanca membaca cacahan (pahatan) dengan slokanya di dalam cinta. Di atas tiap atap terpahat ucapan seloka yang disertai nama Pancaksara pada penghabisan tempat terpahat samar-samar, menggirangkan. Pemandiannya penuh lukisan dongengan berpagar batu gosok tinggi. Berhamburan bunga nagakusuma di halaman yang dilingkungi selokan Andung, karawira, kayu mas, menur serta kayu puring dan lain-lainnya. Kelapa gading kuning rendah menguntai di sudut mengharu rindu pandangan. Tiada sampailah kata meraih keindahan asrama yang gaib dan ajaib. Beratapkan hijuk, dari dalam dan luar berkesan kerasnya tata tertib. Semua para pertapa, wanita dan priya, tua muda nampaknya bijak. Luput dari cela dan klesa, seolah-olah Siwapada di atas dunia.

Habis berkeliling asrama, Sri Paduka lalu dijamu. Para pendeta pertapa yang ucapannya sedap resap. Segala santapan yang tersedia dalam pertapan. Sri Paduka membalas harta. membuat mereka gembira. Dalam pertukaran kata tentang arti kependetaan. Mereka mencurahkan isi hati, tiada tertahan. Akhirnya cengkerma ke taman penuh dengan kesukaan Kegirang-girangan para pendeta tercengang memandang. Habis kesukaan memberi isyarat akan berangkat. Pandang sayang yang ditinggal mengikuti langkah yang pergi. Bahkan yang masih remaja putri sengaja merenung. Batinnya : dewa asmara turun untuk datang menggoda. Sri Paduka berangkat, asrama tinggal berkabung. Bambu menutup mata sedih melepas selubung. Sirih menangis merintih, ayam raga menjerit. Tiung mengeluh sedih, menitikkan air matanya. Kereta lari cepat, karena jalan menurun. Melintasi rumah dan sawah di tepi jalan. Segera sampai Arya, menginap satu malam. Paginya ke utara menuju desa Ganding. Para mentri mancanegara dikepalai Singadikara, serta pendeta Siwa-Buda.

Membawa santapan sedap dengan upacara. Gembira dibalas Sri Paduka dengan mas dan kain. Agak lama berhenti seraya istirahat. Mengunjungi para penduduk segenap desa. Kemudian menuju Sungai Gawe, Sumanding, Borang, Banger, Baremi lalu lurus ke barat. Sampai Pasuruan menyimpang jalan ke selatan menuju Kepanjangan. Menganut jalan raya kereta lari beriring-iring ke Andoh Wawang ke Kedung Peluk dan ke Hambal, desa penghabisan dalam ingatan. Segera Sri Paduka menuju kota Singasari bermalam di balai kota. Empu Prapanca tinggal di sebelah barat Pasuruan. Ingin terus melancong menuju asrama. Indarbaru yang letaknya di daerah desa. Hujung Berkunjung di rumah pengawasnya, menanyakan perkara tanah asrama. Lempengan Serat Kekancingan pengukuh diperlihatkan, jelas setelah dibaca. Isi Serat Kekancingan : tanah datar serta lembah dan gunungnya milik wihara. Begitupula sebagian Markaman, ladang Balunghura, sawah Hujung Isi Serat Kekancingan membujuk sang pujangga untuk tinggal jauh dari pura. Bila telah habis kerja di pura, ingin ia menyingkir ke Indarbaru. Sebabnya terburu-buru berangkat setelah dijamu bapa asrama karena ingat akan giliran menghadap di balai Singasari. Habis menyekar di candi makam, Sri Paduka mengumbar nafsu kesukaan. Menghirup sari pemandangan di Kedung Biru, Kasurangganan dan Bureng.

Pada subakala Sri Paduka berangkat ke selatan menuju Kagenengan. Akan berbakti kepada pasareyan batara bersama segala pengiringnya Harta. perlengkapan. makanan. dan bunga mengikuti jalannya kendaraan. Didahului kibaran bendera,sdisambut sorak-sorai dari penonton. Habis penyekaran, Baginda keluar dikerumuni segenap rakyat. Pendeta Siwa-Buda dan para bangsawan berderet leret di sisi beliau. Tidak diceritakan betapa rahap Sri Paduka bersantap sehingga puas. Segenap rakyat girang menerima anugerah bahan pakaian yang indah. Tersebut keindahan candi makam, bentuknya tiada bertara.

Pintu masuk terlalu lebar lagi tinggi, bersabuk dari luar. Di dalam terbentang halaman dengan rumah berderet di tepinya. Ditanami aneka ragam bunga, tanjung, nagasari ajaib. Menara lampai menjulang tinggi di tengah-tengah, terlalu indah. Seperti gunung Meru dengan arca Batara Siwa di dalamnya. Karena Girinata putra disembah bagai dewa batara. Datu leluhur Sri Naranata yang disembah di seluruh dunia. Sebelah selatan candi pasareyan ada candi sunyi terbengkalai. Tembok serta pintunya yang masih berdiri, berciri kasogatan lantai di dalam. Hilang kakinya bagian barat, tinggal yang timur. Sanggar dan pemujaan yang utuh, bertembok tinggi dari batu merah. Di sebelah utara, tanah bekas kaki rumah sudahlah rata. Terpencar tanamannya nagapuspa serta salaga di halaman. Di luar gapura pabaktan luhur, tapi telah longsor tanahnya. Halamannya luas tertutup rumput, jalannya penuh dengan lumut laksana wanita sakit merana lukisannya lesu-pucat. Berhamburan daun cemara yang ditempuh angin, kusut bergelung. Kelapa gading melulur tapasnya, pinang letih lusuh merayu.

Buluh gading melepas kainnya, layu merana tak ada hentinya. Sedih mata yang memandang, tak berdaya untuk menyembuhkannya. Kecuali menanti Hayam Wuruk sumber hidup segala makhluk. Beliau mashur bagai raja utama, bijak memperbaiki jagad. Pengasih bagi yang menderita sedih, sungguh titisan batara. Tersebut lagi, paginya Sri Paduka berkunjung ke candi Kidal. Sesudah menyembah batara, larut hari berangkat ke Jajago. Habis menghadap arca Jina, beliau berangkat ke penginapan. Paginya menuju Singasari, belum lelah telah sampai Bureng. Keindahan Bureng : telaga bergumpal airnya jernih. Kebiru-biruan, di tengahnya candi karang bermekala. Tepinya rumah berderet, penuh pelbagai ragam bunga. Tujuan para pelancong penyerap sari kesenangan. Terlewati keindahannya, berganti cerita narpati. Setelah reda terik matahari, melintas tegal tinggi.

Rumputnya tebal rata, hijau mengkilat, indah terpandang. Luas terlihat laksana lautan kecil berombak jurang. Seraya berkeliling kereta lari tergesa-gesa. Menuju Singasari, segera masuk ke pesanggrahan. Sang pujangga singgah di rumah pendeta Buda, sarjana. Pengawas candi dan silsilah raja, pantas dikunjungi. Telah lanjut umurnya, jauh melintasi seribu bulan. Setia, sopan, darah luhur, keluarga raja dan mashur. Meski sempurna dalam karya, jauh dari tingkah tekebur. Terpuji pekerjaannya, pantas ditiru keinsafannya. Tamu diterima dengan girang dan ditegur : “Wahai orang bahagia, pujangga besar pengiring raja, pelindung dan pengasih keluarga yang mengharap kasih. Jamuan apa yang layak bagi paduka dan tersedia?” Maksud kedatangannya: ingin tahu sejarah leluhur para raja yang dicandikan, masih selalu dihadap. Ceriterakanlah mulai dengan Batara Kagenengan. Ceriterakan sejarahnya jadi putra Girinata.

Paduka Empuku menjawab : “Rakawi maksud paduka sungguh merayu hati. Sungguh paduka pujangga lepas budi. Tak putus menambah ilmu, mahkota hidup. Izinkan saya akan segera mulai. Cita disucikan dengan air sendang tujuh”.

Terpuji Siwa! Terpuji Girinata! Semoga terhindar aral, waktu bertutur. Semoga rakawi bersifat pengampun. Di antara kata mungkin terselib salah. Harap percaya kepada orang tua. Kurang atau lebih janganlah dicela. Pada tahun 1104 Saka ada raja perwira yuda Putra Girinata, konon kabarnya lahir di dunia tanpa ibu. Semua orang tunduk, sujud menyembah kaki bagai tanda bakti. Sri Ranggah Rajasa nama beliau, penggempur musuh pahlawan bijak. Daerah luas sebelah timur gunung Kawi terkenal subur makmur. Di situlah tempat putra Sang Girinata menunaikan darmanya. Menggirangkan budiman, menyirnakan penjahat, meneguhkan negara, ibukota negara bernama Kotaraja, penduduknya sangat terganggu. Tahun 1144 Saka, beliau melawan raja Kediri Sang Adiperwira Kretajaya, putus sastra serta tatwopadesa. Kalah, ketakutan, melarikan diri ke dalam biara terpencil. Semua pengawal dan perwira tentara yang tinggal, mati terbunuh. Setelah kalah Narpati Kediri, Jawa di dalam ketakutan. Semua raja datang menyembah membawa tanda bakti hasil tanah. Bersatu Jenggala Kediri di bawah kuasa satu raja sakti. Cikal bakal para raja agung yang akan memerintah pulau Jawa. Makin bertambah besar kuasa dan megah putra sang Girinata. Terjamin keselatamatan pulau Jawa selama menyembah kakinya. Tahun 1149 Saka beliau kembali ke Siwapada. Dicandikan di Kagenengan bagai Siwa, di Usana bagai Buda.

Batara Anusapati putra Sri Paduka, berganti dalam kekuasaan. Selama pemerintahannya. tanah Jawa kokoh sentosa, bersembah bakti. Tahun 1170 Saka beliau pulang ke Siwaloka. Cahaya beliau diujudkan arca Siwa gemilang di candi pasareyan Kidal. Batara Wisnu Wardana, putra Sri Paduka, berganti dalam kekuasaan. Beserta Narasinga bagai Madawa dengan Indra memerintah negara Beliau memusnahkan perusuh Linggapati serta segenap pengikutnya. Takut semua musuh kepada beliau sungguh titisan Siwa di bumi. Tahun 1176 Saka, Batara Wisnu menobatkan putranya. Segenap rakyat Kediri Jenggala berduyun-duyun ke pura mangastubagia. Prabu Kerta Negara nama gelarannya, tetap demikian seterusnya. Daerah Kotaraja bertambah makmur, berganti nama praja Singasari. Tahun 1192, Raja Wisnu berpulang. Dicandikan di Waleri berlambang arca Siwa, di Jajago arca Buda. Sementara itu Batara Nara Singa Murti pun pulang ke Surapada. Dicandikan di Wengker, di Kumeper diarcakan bagai Siwa mahadewa. Tersebut Sri Paduka Kertanagara membinasakan perusuh, penjahat. Bernama Cayaraja, gugur pada tahun Saka 1192. Tahun 1197 Saka, Sri Paduka menyuruh tundukkan Melayu. Berharap Melayu takut kedewaan beliau tunduk begitu sahaja.

Tahun 1202 Saka, Sri Paduka Prabu memberantas penjahat Mahisa Rangga, karena jahat tingkahnya dibenci seluruh negara. Tahun 1206 Saka, mengirim utusan menghancurkan Bali. Setelah kalah rajanya menghadap Sri Paduka sebagai orang tawanan. Demikianlah dari empat jurusan orang lari berlindung di bawah Sri Paduka. Seluruh Pahang, segenap Melayu tunduk menekur di hadapan beliau. Seluruh Gurun, segenap Bakulapura lari mencari perlindungan. Sunda Madura tak perlu dikatakan, sebab sudah terang setanah Jawa. Jauh dari tingkah alpa dan congkak, Sri Paduka waspada, tawakal dan bijak. Faham akan segala seluk beluk pemerintahan sejak zaman Kali. Karenanya tawakal dalam agama dan tapa untuk teguhnya ajaran Buda. Menganut jejak para leluhur demi keselamatan seluruh praja.

Menurut kabar sastra raja Pandawa memerintah sejak zaman Dwapara. Tahun 1209 Saka, beliau pulang ke Budaloka. Sepeninggalnya datang zaman Kali, dunia murka, timbul huru hara. Hanya batara raja yang faham dalam nam guna, dapat menjaga jagad. Itulah sebabnya Sri Paduka teguh bakti menyembah kaki Sakyamuni. Teguh tawakal memegang Pancasila, laku utama, upacara suci Gelaran Jina beliau yang sangat mashur ialah Sri Jnanabadreswara. Putus dalam filsafat, ilmu bahasa dan lain pengetahuan agama. Berlumba-lumba beliau menghirup sari segala ilmu kebatinan. Pertama-tama tantra Subuti diselami, intinya masuk ke hati.

Melakukan puja, yoga, samadi demi keselamatan seluruh praja. Menghindarkan tenung, mengindahkan anugerah kepada rakyat murba. Di antara para raja yang lampau tidak ada yang setara beliau. Faham akan nam guna, sastra, tatwopadesa, pengetahuan agama Adil, teguh dalam Jinabrata dan tawakal kepada laku utama. Itulah sebabnya beliau turun-temurun menjadi raja pelindung. Tahun 1214 Saka, Sri Paduka pulang ke Jinalaya. Berkat pengetahuan beliau tentang upacara, ajaran agama. Beliau diberi gelaran : Yang Mulia bersemayam di alam Siwa-Buda. Di pasareyan beliau bertegak arca Siwa-Buda terlampau indah permai. Di Sagala ditegakkan pula arca Jina sangat bagus dan berkesan. Serta arca Ardanareswari bertunggal dengan arca Sri Bajradewi. Teman kerja dan tapa demi keselamatan dan kesuburan negara Hyang Wairocana-Locana bagai lambangnya pada arca tunggal, terkenal.

Tatkala Sri Paduka Kertanagara pulang ke Budabuana. Merata takut, duka, huru hara, laksana zaman Kali kembali. Raja bawahan bernama Jayakatwang, berwatak terlalu jahat berkhianat, karena ingin berkuasa di wilayah Kediri. Tahun 1144 Saka, itulah sirnanya raja Kertajaya atas perintah Siwaputra Jayasaba berganti jadi raja. Tahun Saka 1180, Sastrajaya raja Kediri. Tahun 1193, Jayakatwang raja terakhir. Semua raja berbakti kepada cucu putra Girinata. Segenap pulau tunduk kepada kuasa Prabu Kerta Negara. Tetapi raja Kediri Jayakatwang membuta dan mendurhaka. Ternyata damai tak baka akibat bahaya anak piara Kali. Berkat keulungan sastra dan keuletannya jadi raja sebentar. Lalu ditundukkan putra Sri Paduka, ketenterarnan kembali. Sang menantu Raden Wijaya, itu gelarnya yang terkenal di dunia Bersekutu dengan bangsa Tartar, menyerang melebur Jayakatwang.

Sepeninggal Jayakatwang jagad gilang cemerlang kembali. Tahun 1216 Saka, Raden Wijaya menjadi raja. Disembah di Majapahit, kesayangan rakyat, pelebur musuh. Bergelar Sri Baginda Kerta Rajasa Jaya Wardana. Selama Kerta Rajasa Jaya Wardana duduk di takhta, seluruh tanah Jawa bersatu padu, tunduk menengadah. Girang memandang pasangan Sri Paduka empat jumlahnya. Putri Kertanagara cantik-cantik bagai bidadari. Sang Parameswari Tri Buwana yang sulung, luput dari cela. Lalu parameswari Mahadewi, rupawan tidak bertara Prajnya Paramita Jayendra Dewi, cantik manis menawan hati. Gayatri, yang bungsu, paling terkasih digelari Rajapatni. Pernikahan beliau dalam kekeluargaan tingkat tiga. Karena Batara Wisnu dengan Batara Nara Singa Murti. Akrab tingkat pertama, Narasinga menurunkan Dyah Lembu Tal Sang perwira yuda, dicandikan di Mireng dengan arca Buda. Dyah Lembu Tal itulah bapa Sri Baginda. Dalam hidup atut runtut sepakat sehati. Setitah raja diturut, menggirangkan pandang. Tingkah laku mereka semua meresapkan. Tersebut tahun Saka 1217, Sri Paduka menobatkan putranya di Kediri. Perwira, bijak, pandai, putra Indreswari. Bergelar Sri Paduka putra Jayanagara. Tahun Saka 1231, Sang Prabu mangkat, ditanam di dalam pura Antahpura, begitu nama pasareyan beliau. Dan di pasareyan Simping ditegakkan arca Siwa.

Beliau meninggalkan Jayanagara sebagai raja Wilwatikta. Dan dua orang putri keturunan Rajapatni, terlalu cantik. Bagai dewi Ratih kembar, mengalahkan rupa semua bidadari. Yang sulung jadi rani di Jiwana, yang bungsu jadi rani Daha. Tersebut pada tahun Saka 1238, bulan Madu Sri Paduka Jayanagara berangkat ke Lumajang menyirnakan musuh. Kotanya Pajarakan dirusak, Nambi sekeluarga dibinasakan. Giris miris segenap jagad melihat keperwiraan Sri Paduka. Tahun Saka 1250, beliau berpulang. Segera dimakamkan di dalam pura berlambang arca Wisnuparama. Di Sila Petak dan Bubat ditegakkan arca Wisnu terlalu indah. Di Sukalila terpahat arca Buda sebagai jelmaan Amogasidi.

Tahun Saka 1256, Rani Jiwana Wijaya Tungga Dewi bergilir mendaki takhta Wilwatikta. Didampingi raja putra Singasari atas perintah ibunda Rajapatni. Sumber bahagia dan pangkal kuasa. Beliau jadi pengemban dan pengawas raja muda, Sri Paduka Wilwatikta. Tahun Saka 1253 sirna musuh di Sadeng, Keta diserang. Selama bertakhta, semua terserah kepada Mahamantri agung bijak, Mada namanya. Tahun Saka 1265, raja Bali yang alpa dan rendah budi diperangi, gugur bersama balanya. Menjauh segala yang jahat, tenteram”.

Begitu ujar Dang Acarya Ratnamsah. Sungguh dan mengharukan ujar Sang Kaki. Jelas keunggulan Sri Paduka di dunia. Dewa asalnya, titisan Girinata. Barang siapa mendengar kisah raja. Tak puas hatinya, bertambah baktinya. Pasti takut melakukan tindak jahat. Menjauhkan diri dari tindak durhaka.

Paduka Empu minta maaf berkata : “Hingga sekian kataku, sang rakawi. Semoga bertambah pengetahuanmu. Bagai buahnya, gubahlah puja sastra”.

Habis jamuan rakawi dengan sopan. Minta diri kembali ke Singasari. Hari surut sampai pesanggrahan lagi. Paginya berangkat menghadap Sri Paduka. Tersebut Sri Paduka Prabu berangkat berburu. Lengkap dengan senjata, kuda dan kereta. Dengan bala ke hutan Alaspati, rimba belantara rungkut rimbun penuh gelagah rumput rampak. Bala bulat beredar membuat lingkaran. Segera siap kereta berderet rapat. Hutan terkepung, terperanjat kera menjerit burung ribut beterbangan berebut dulu. Bergabung sorak orang berseru den membakar. Gemuruh bagaikan deru lautan mendebur. Api tinggi menyala menjilat udara. Seperti waktu hutan Alaspati terbakar. Lihat rusa-rusa lari lupa daratan. Bingung berebut dahulu dalam rombongan. Takut miris menyebar, ingin lekas lari. Malah manengah berkumpul tumpuk timbun. Banyaknya bagai banteng di dalam Gobajra Penuh sesak, bagai lembu di Wresabapura Celeng, banteng, rusa, kerbau, kelinci. Biawak, kucing, kera, badak dan lainnya. Tertangkap segala binatang dalam hutan. Tak ada yang menentang, semua bersatu. Srigala gagah, yang bersikap tegak-teguh. Berunding dengan singa sebagai ketua.

Izinkanlah saya bertanya kepada raja satwa. Sekarang raja merayah hutan, apa yang diperbuat? Menanti mati sambil berdiri ataukah kita lari. Atau tak gentar serentak melawan, jikalau diserang? Seolah-olah demikian kata srigala dalam rapat. Kijang menjawab : “Hemat patik tidak ada jalan lain kecuali lari. Lari mencari keselamatan diri sedapat mungkin”. Kaswari, rusa dan kelinci setuju. Banteng berkata : “Amboi! Celaka kijang, sungguh binatang hina lemah. Bukanlah sifat perwira lari, atau menanti mati. Melawan dengan harapan menang, itulah kewajiban.” Kerbau, lembu serta harimau setuju dengan pendapat ini. Jawab singa : “Usulmu berdua memang pantas diturut, Bung. Tapi harap dibedakan, yang dihadapi baik atau buruk. Jika penjahat, terang kita lari atau kita lawan. Karena sia-sia belaka, jika mati terbunuh olehnya. Jika kita menghadapi tripaksa, resi Siwa-Buda. Seyogyanya kita ikuti saja jejak sang pendeta. Jika menghadapi raja berburu, tunggu mati saja. Tak usah engkau merasa enggan menyerahkan hidupmu. Karena raja berkuasa mengakhiri hidup makhluk. Sebagai titisan Batara Siwa berupa narpati. Hilang segala dosanya makhluk yang dibunuh beliau. Lebih utama dari pada terjun ke dalam telaga. Siapa di antara sesama akan jadi musuhku? Kepada tripaksa aku takut, lebih utama menjauh. Niatku, jika berjumpa raja, akan menyerahkan hidup. Mati olehnya, tak akan lahir lagi bagai binatang.

Bagaikan katanya: “Marilah berkumpul!” Kemudian serentak maju berdesak. Prajurit darat yang terlanjur langkahnya. Tertahan tanduk satwa, lari kembali. Tersebutlah prajurit berkuda. Bertemu celeng sedang berdesuk kumpul. Kasihan! Beberapa mati terbunuh. Dengan anaknya dirayah tak berdaya. Lihatlah celeng jalang maju menerjang. Berempat, berlima, gemuk, tinggi, marah. Buas membekos-bekos, matanya merah. Liar dahsyat, saingnya seruncing golok. Tersebut pemburu kijang rusa riuh seru-menyeru.

Ada satu yang tertusuk tanduk, lelah lambat jalannya. Karena luka kakinya, darah deras meluap-luap. Lainnya mati terinjak-injak, menggelimpang kesakitan. Bala kembali berburu, berlengkap tombak serta lembing. Berserak kijang rusa di samping bangkai bertumpuk timbun. Banteng serta binatang galak lainnya bergerak menyerang. Terperanjat bala raja bercicir lari tunggang langgang. Ada yang lari berlindung di jurang, semak, kayu rimbun. Ada yang memanjat pohon, ramai mereka berebut puncak. Kasihanlah yang memanjat pohon tergelincir ke bawah Betisnya segera diseruduk dengan tanduk, pingsanlah! Segera kawan-kawan datang menolong dengan kereta. Menombak, melembing, menikam, melanting, menjejak-jejak. Karenanya badak mundur, meluncur berdebak gemuruh. Lari terburu, terkejar, yang terbunuh bertumpuk timbun. Ada pendeta Siwa-Buda yang turut menombak, mengejar. Disengau harimau, lari diburu binatang mengancam. Lupa akan segala darma, lupa akan tata sila. Turut melakukan kejahatan, melupakan darmanya.

Tersebut Sri Paduka telah mengendarai kereta kencana. Tinggi lagi indah ditarik lembu yang tidak takut bahaya, menuju hutan belantara, mengejar buruan ketakutan. Yang menjauhkan diri lari bercerai-berai meninggalkan bangkai. Celeng. kaswari, rusa dan kelinci tinggal dalam ketakutan. Sri Paduka berkuda mengejar yang riuh lari bercerai-berai. Mahamantri Agung, tanda dan pujangga di punggung kuda turut memburu binatang jatuh terbunuh tertombak, terpotong. tertusuk, tertikam. Tanahnya luas lagi rata, hutannya rungkut di bawah terang. Itulah sebabnya kijang dengan mudah dapat diburu kuda. Puaslah hati Sri Paduka sambil bersantap dihadap pendeta. Bercerita tentang caranya berburu, menimbulkan gelak tawa. Terlangkahi betapa narpati sambil berburu menyerap sari keindahan gunung dan hutan, kadang-kadang kepayahan kembali ke rumah perkemahan.

Membawa wanita seperti cengkeraman, di hutan bagai menggempur, negara tahu kejahatan satwa, beliau tak berdosa terhadap darma ahimsa. Tersebut beliau bersiap akan pulang, rindu kepada keindahan pura. Tatkala subakala berangkat menuju Banyu Hanget, Banir dan Talijungan. Bermalam di Wedwawedan, siangnya menuju Kuwarahan, Celong dan Dadamar Garuntang, Pagar Telaga, Pahanjangan, sampai di situ perjalanan beliau. Siangnya perjalanan melalui Tambak, Rabut, Wayuha terus ke Balanak menuju Pandakan, Banaragi, sampai Pandamayan beliau lalu bermalam Kembal! ke selatan, ke barat, menuju Jejawar di kaki gunung berapi. Disambut penoton bersorak gembira, menyekar sebentar di candi makam. Adanya candi pasareyan tersebut sudah sejak zaman dahulu. Didirikan oleh Sri Kertanagara, moyang Sri Paduka Prabu. Di situ hanya jenazah beliau sahaja yang dimakamkan. Karena beliau dulu memeluk dua agama Siwa-Buda. Bentuk candi berkaki Siwa berpuncak Buda, sangat tinggi. Di dalamnya terdapat arca Siwa, indah tak dapat dinilai. Dan arca Maha Aksobya bermahkota tinggi tidak bertara. Namun telah hilang, memang sudah layak, tempatnya: di Nirwana.

Konon kabarnya tepat ketika arca Hyang Aksobya hilang, ada pada Sri Paduka guru besar, mashur. Pada Paduka putus tapa, sopan suci penganut pendeta Sakyamuni Telah terbukti bagai mahapendeta terpundi sasantri. Senang berziarah ke tempat suci, bermalam dalam candi. Hormat mendekati Hyang arca suci, khidmat berbakti sembah. Menimbul-kan iri di dalam hati pengawas candi suci. Ditanya mengapa berbakti kepada arca dewa Siwa. Pada Paduka menjelaskan sejarah candi pasareyan suci. Tentang adanya arca Aksobya indah, dahulu di atas. Sepulangnya kembali lagi ke candi menyampaikan bakti. Kecewa! tercengang memandang arca Maha Aksobya hilang. Tahun Saka 1253 itu hilangnya arca. Waktu hilangnya halilintar menyambar candi ke dalam.

Benarlah kabuan pendeta besar bebas dari prasangka. Bagaimana membangun kembali candi tua terbengkalai?. Tiada ternilai indahnya, sungguh seperti surga turun. Gapura luar, mekala serta bangunannya serba permai. Hiasan di dalamnya naga puspa yang sedang berbunga. Di sisinya lukisan putri istana berseri-seri. Sementara Sri Paduka girang cengkerma menyerap pemandangan. Pakis berserak sebar di tengah tebat bagai bulu dada. Ke timur arahnya di bawah terik matahari Sri Paduka. Meninggalkan candi Pekalongan girang ikut jurang curam. Tersebut dari Jajawa Sri Paduka berangkat ke desa padameyan. Berhenti di Cunggrang, mencahari pemandangan, masuk hutan rindang. Ke arah asrama para pertapa di lereng kaki gunung menghadap jurang. Luang jurang ternganga-nganga ingin menelan orang yang memandang.

Habis menyerap pemandangan, masih pagi kereta telah siap. Ke barat arahnya menuju gunung melalui jalannya dahulu. Tiba di penginapan Japan, barisan tentara datang menjemput yang tinggal di pura iri kepada yang gembira pergi menghadap. Pukul tiga itulah waktu Sri Paduka bersantap bersama-sama. Paling muka duduk Sri Paduka lalu dua paman berturut tingkat raja Matahun dan Paguhan bersama permaisuri agak jauhan. Di sisi Sri Paduka, terlangkahi berapa lamanya bersantap. Paginya pasukan kereta Sri Paduka berangkat lagi. Sang pujangga menyidat jalan ke Rabut, Tugu, Pengiring. Singgah di Pahyangan, menemui kelompok sanak kadang. Dijamu sekadarnya, karena kunjungannya mendadak. Banasara dan Sangkan Adoh tesah lama dilalui. Pukul dua Sri Paduka telah sampai di perbatasan kota Sepanajng jalan berdesuk-desuk, gajah, kuda, pedati. Kerbau, banteng dan prajurit darat sibuk berebut jalan. Teratur rapi mereka berarak di dalam deretan. Narpati Pajang, permaisuri dan pengiring paling muka. Di belakangnya tidak jauh, berikut Narpati Lasom.

Terlampau indah keretanya, menyilaukan yang memandang. Rani Daha, rani Wengker semuanya urut belakang. Disusul rani Jiwana bersama laki dan pengiring. Bagai penutup kereta Sri Paduka serombongan besar. Diiring beberapa ribu perwira dan para mentri. Tersebut orang yang rapat rampak menambak tepi jalan Berjejal ribut menanti kereta Sri Paduka berlintas. Tergopoh-gopoh wanita ke pintu berebut tempat. Malahan ada yang lari telanjang lepas sabuk kainnya. Yang jauh tempatnya, memanjat kekayu berebut tinggi. Duduk berdesak-desak di dahan, tak pandang tua muda. Bahkan ada juga yang memanjat batang kelapa kuning. Lupa malu dilihat orang, karena tepekur memandang. Gemuruh dengung gong menampung Sri Paduka Prabu datang. Terdiam duduk merunduk segenap orang di jalanan. Setelah raja lalu berarak pengiring di belakang. Gajah. kuda, keledai, kerbau berduyun beruntun-runtun.

Yang berjalan rampak berarak-arak. Barisan pikulan bejalan belakang. Lada, kesumba, kapas, buah kelapa. Buah pinang, asam dan wijen terpikul. Di belakangnya pemikul barang berat. Sengkeyegan lambat berbimbingan tangan. Kanan menuntun kirik dan kiri genjik. Dengan ayam itik di keranjang merunduk. Jenis barang terkumpul dalam pikulan. Buah kecubung, rebung, seludang, cempaluk. Nyiru, kerucut, tempayan, dulang, periuk. Gelaknya seperti hujan panah jatuh. Tersebut Sri Paduka telah masuk pura. Semua bubar ke rumah masing-masing. Ramai bercerita tentang hal yang lalu Membuat girang semua sanak kadang. Waktu lalu Sri Paduka tak lama di istana. Tahun Saka 1282, Badra pada. Beliau berangkat menuju Tirib dan Sempur. Nampak sangat banyak binatang di dalam hutan. Tahun Saka 1283 Waisaka, Sri Paduka Prabu berangkat menyekar ke Palah. Dan mengunjungi Jimbe untuk menghibur hati. Di Lawang Wentar, Blitar menenteramkan cita. Dari Blitar ke selatan jalannya mendaki.

Pohonnya jarang, layu lesu kekurangan air. Sampai Lodaya bermalam beberapa hari. Tertarik keindahan lautan, menyisir pantai. Meninggalkan Lodaya menuju desa Simping. Ingin memperbaiki candi pasareyan leluhur. Menaranya rusak, dilihat miring ke barat. Perlu ditegakkan kembali agak ke timur. Perbaikan disesuaikan dengan bunyi prasati, yang dibaca lagi. Diukur panjang lebarnya, di sebelah timur sudah ada tugu. Asrama Gurung-gurung diambil sebagai denah candi makam. Untuk gantinya diberikan Ginting, Wisnurare di Bajradara. Waktu pulang mengambil jalan Jukung, Inyanabadran terus ke timur. Berhenti di Bajralaksmi dan bermalam di candi Surabawana. Paginya berangkat lagi berhenti di Bekel, sore sampai pura Semua pengiring bersowang-sowang pulang ke rumah masing-masing. Tersebut paginya Sri naranata dihadap para mentri semua. Di muka para arya, lalu pepatih, duduk teratur di manguntur.

Patih amangkubumi Gajah Mada tampil ke muka sambil berkata : “Sri Paduka akan melakukan kewajiban yang tak boleh diabaikan. Atas Perintah sang rani Sri Tri Buwana Wijaya Tungga Dewi supaya pesta serada Sri Padukapatni dilangsungkan Sri Paduka. Di istana pada tahun Saka 1284 bulan Badrapada. Semua pembesar dan wreda Mahamantri Agung diharap memberi sumbangan.” Begitu kata sang patih dengan ramah, membuat gembira. Sri Paduka Sorenya datang para pendeta, para budiman, sarjana dan mentri. Yang dapat pinjaman tanah dengan Ranadiraja sebagai kepala Bersama-sama membicarakan biaya di hadapan Sri Paduka. Tersebut sebelum bulan Badrapada menjelang surutnya Srawana. Semua pelukis berlipat giat menghias “tempat singa” di setinggil Ada yang mengetam baki makanan, bokor-bokoran, membuat arca. Pandai emas dan perak turut sibuk bekerja membuat persiapan. Ketika saatnya tiba tempat telah teratur sangat rapi. Balai witana terhias indah di hadapan rumah-rumahan.

Satu di antaranya berkaki batu karang bertiang merah. Indah dipandang semua menghadap ke arah takhta Sri Paduka. Barat, mandapa dihias janur rumbai, tempat duduk para raja. Utara, serambi dihias berlapis ke timur, tempat duduk. Para isteri, pembesar, Mahamantri Agung, pujangga. Serta pendeta Selatan, beberapa serambi berhias bergas untuk abdi. Demikian persiapan Sri Paduka memuja Buda Sakti. Semua pendeta Buda berdiri dalam lingkaran bagai saksi. Melakukan upacara, dipimpin oleh pendeta Stapaka. Tenang, sopan budiman faham tentang sastra tiga tantra. Umurnya melintasi seribu bulan, masih belajar tutur. Tubuhnya sudah rapuh, selama upacara harus dibantu. Empu dari Paruh selaku pembantu berjalan di lingkaran. Mudra, mantra dan japa dilakukan tepat menurut aturan. Tanggal dua belas nyawa dipanggil dari surga dengan doa. Disuruh kembali atas doa dan upacara yang sempurna. Malamnya memuja arca bunga bagai penampung jiwa mulia. Dipimpin Dang Acarya, mengheningkan cipta, mengucapkan puja.

Pagi purnamakala arca bunga dikeluarkan untuk upacara. Gemuruh disambut dengan dengung salung, tambur, terompet serta genderang. Didudukkan di atas singasana, besarnya setinggi orang berdiri berderet beruntun-runtun semua pendeta tua muda memuja. Berikut para raja, parameswari dan putra mendekati arca. Lalu para patih dipimpin Gajah Mada maju ke muka berdatang sembah. Para bupati pesisir dan pembesar daerah dari empat penjuru. Habis berbakti sembah, kembali mereka semua duduk rapi teratur. Sri Nata Paguhan paling dahulu menghaturkan sajian makanan sedap Bersusun timbun seperti pohon, dan sirih bertutup kain sutera Persembahan raja Matahun arca banteng putih seperti lembu. Nandini. Terus menerus memuntahkan harta dan makanan dari nganga mulutnya. raja Wengker mempersembahkan sajian berupa rumah dengan taman bertingkat Disertai penyebaran harta di lantal balai besar berhambur-hamburan.

Elok persembahan raja Tumapel berupa wanita cantik manis Dipertunjukkan selama upacara untuk mengharu-rindukan hati. Paling haibat persembahan Sri Paduka berupa gunung besar. Mandara Digerakkan oleh sejumlah dewa dan danawa dahsyat menggusarkan pandang Ikan lambora besar beriembak-lembak mengebaki kolam bujur lebar Bagaikan sedang mabuk diayun gelombang, di tengah-tengah lautan besar. Tiap hari persajian makanan yang dipersembahkan dibagi-bagi. Agar para wanita, Mahamantri Agung, pendeta dapat makanan sekenyangnya Tidak terlangkahi para kesatria, arya dan para abdi di pura. Tak putusnya makanan sedap nyaman diedarkan kepada bala tentara. Pada hari keenam pagi Sri Paduka bersiap mempersembahkan persajian. Pun para kesatria dan pembesar mempersembahkan rumah- rumahan yang terpikul.

Dua orang pembesar mempersembahkan perahu yang melukiskan kutipan kidung. Seperahu sungguh besarnya, diiringi gong dan bubar mengguntur menggembirakan. Esoknya patih mangkubumi Gajah Mada sore-sore menghadap sambi menghaturkan. Sajian wanita sedih merintih di bawah nagasari dibelit rajasa. Mahamantri Agung, arya, bupati, pembesar desa pun turut menghaturkan persajian. Berbagai ragamnya, berduyun-duyun ada yang berupa perahu, gunung, rumah, ikan. Sungguh-sungguh mengagumkan persembahan Sri Paduka Prabu pada hari yang ketujuh. Beliau menabur harta, membagi-bagi bahan pakaian dan hidangan, makanan. Luas merata kepada empat kasta, dan terutama kepada para pendeta. Hidangan jamuan kepada pembesar, abdi dan niaga mengalir bagai air. Gemeruduk dan gemuruh para penonton dari segenap arah, berdesak-sesak. Ribut berebut tempat melihat peristiwa di balai agung serta para luhur. Sri Nata menari di balai witana khusus untuk para putri dan para istri. Yang duduk rapat rapi berimpit ada yang ngelamun karena tercengang memandang.

Segala macam kesenangan yang menggembirakan hati rakyat diselenggarakan. Nyanyian, wayang, topeng silih berganti setiap hari dengan paduan suara. Tari perang prajurit yang dahsyat berpukul-pukulan, menimbulkan gelak-mengakak. Terutama derma kepada orang yang menderita membangkitkan gembira rakyat. Pesta serada yang diselenggarakan serba meriah dan khidmat. Pasti membuat gembira jiwa Sri Padukapatni yang sudah mangkat. Semoga beliau melimpahkan barkat kepada Sri Paduka Prabu Sehingga jaya terhadap musuh selama ada bulan dan surya. Paginya pendeta Buda datang menghormati, memuja dengan sloka. Arwah Prajnyaparamita yang sudah berpulang ke Budaloka. Segera arca bunga diturunkan kembali dengan upacara. Segala macam makanan dibagikan kepada segenap abdi. Lodang lega rasa Sri Paduka melihat perayaan langsung lancar. Karya yang masih menunggu, menyempurnakan candi di Kamal Pandak. Tanahnya telah disucikan tahun 1274. Dengan persajian dan puja kepada Brahma oleh Jnyanawidi.

Demikian sejarah Kamal menurut tutur yang dipercaya. Dan Sri Nata Panjalu di Daha, waktu bumi Jawa dibelah. Karena cinta Sinuwun Prabu Airlangga kepada dua putranya. Ada pendeta Budamajana putus dalam tantra dan yoga. Diam di tengah kuburan lemah Citra, jadi pelindung rakyat. Waktu ke Bali berjalan kaki, tenang menapak di air lautan. Hyang Empu Barada nama beliau, faham tentang tiga zaman. Girang beliau menyambut permintaan Airlangga membelah negara. Tapal batas negara ditandai air kendi mancur dari langit. Dari barat ke timur sampai laut, sebelah utara, selatan. Yang tidak jauh, bagaikan dipisahkan oleh samudera besar. Turun dari angkasa sang pendeta berhenti di pohon asam. Selesai tugas kendi suci ditaruhkan di dusun Palungan. Marah terhambat pohon asam tinggi yang puncaknya mengait jubah.

Mpu Barada terbang lagi, mengutuk asam agar jadi kerdil. Itulah tugu batas gaib, yang tidak akan mereka lalui. Itu pula sebabnya dibangun candi, memadu Jawa lagi. Semoga Sri Paduka serta rakyat tetap tegak, teguh, waspada. Berjaya dalam memimpin negara, yang sudah bersatu padu. Prajnya Paramita Puri itulah nama candi pasareyan yang dibangun. Arca Sri Padukapatni diberkahi oleh Sang pendeta Jnyanawidi. Telah lanjut usia, faham akan tantra, menghimpun ilmu agama, laksana titisan Empu Barada, menggembirakan hati Sri Paduka. Di Bayalangu akan dibangun pula candi pasareyan Sri Padukapatni. Pendeta Jnyanawidi lagi yang ditugaskan memberkahi tanahnya. Rencananya telah disetujui oleh sang Mahamantri Agung demung. Boja Wisesapura namanya, jika candi sudah sempurna dibangun. Candi pasareyan Sri Padukapatni tersohor sebagai tempat keramat. Tiap bulan Badrapada disekar oleh para Mahamantri Agung dan pendeta. Di tiap daerah rakyat serentak membuat peringatan dan memuja. Itulah suarganya, berkat berputra, bercucu narendra utama.

Tersebut pada tahun Saka 1285, Sri Paduka menuju Simping demi pemindahan candi makam. Siap lengkap segala persajian tepat menurut adat. Pengawasnya Rajaparakrama memimpin upacara. Faham tentang tatwopadesa dan kepercayaan Siwa. Memangku jabatannya semenjak mangkat Kerta Rajasa. Ketika menegakkan menara dan mekala gapura. Bangsawan agung Arya Krung, yang diserahi menjaganya. Sekembalinya dari Simping segera masuk ke pura. Terpaku mendengar AdiMahamantri Agung Gajah Mada gering. Pernah mencurahkan tenaga untuk keluhuran Jawa. Di pulau Bali serta kota Sadeng memusnahkan musuh. Tahun Saka 1253 beliau mulai memikul tanggung jawab. Tahun 1286 Saka beliau mangkat, Sri Paduka gundah, terharu bahkan putus asa.

Sang dibyacita Gajah Mada cinta kepada sesama tanpa pandang bulu. Insaf bahwa hidup ini tidak baka karenanya beramal tiap hari. Sri Paduka segera bermusyawarah dengan kedua rama serta bunda. Kedua adik dan kedua ipar tentang calon pengganti Ki Patih Mada. Yang layak akan diangkat hanya calon yang sungguh mengenal tabiat rakyat. Lama timbang-menimbang, tetapi seribu sayang tidak ada yang memuaskan. Sri Paduka berpegang teguh, AdiMahamantri Agung Gajah Mada tak akan diganti. Bila karenanya timbul keberatan beliau sendiri bertanggung jawab. Mernilih enam Mahamantri Agung yang menyampaikan urusan negara ke istana. Mengetahui segala perkara, sanggup tunduk kepada pimpinan. Sri Paduka. Itulah putusan rapat tertutup. Hasil yang diperoleh perundingan. Terpilih sebagai wredaMahamantri Agung. Karib Sri Paduka bernama Empu Tandi. Penganut karib Sri Baginda. Pahlawan perang bernama Empu Nala. Mengetahui budi pekerti rakyat.

Mancanegara bergelar tumenggung. Keturunan orang cerdik dan setia. Selalu memangku pangkat pahlawan. Pernah menundukkan negara Dompo. Serba ulet menanggulangi musuh. Jumlahnya bertambah dua Mahamantri Agung. Bagai pembantu utama Sri Paduka. Bertugas mengurus soal perdata. Dibantu oleh para upapati. Empu Dami menjadi Mahamantri Agung muda. Selalu ditaati di istana. Empu Singa diangkat sebagai saksi. Dalam segala perintah Sri Paduka. Demikian titah Sri Baginda. Puas, taat teguh segenap rakyat. Tumbuh tambah hari setya baktinya. Karena Sri Paduka yang memerintah. Sri Paduka makin keras berusaha untuk dapat bertindak lebih. Dalam pengadilan tidak serampangan, tapi tepat mengikut undang-undang. Adil segala keputusan yang diambil, semua pihak merasa puas. Mashur nama beliau, mampu menembus jaman, sungguhlah titiaan batara. Candi pasareyan serta bangunan para leluhur sejak zaman dahulu kala. Yang belum siap diselesaikan, dijaga dan dibina dengan saksama.

Yang belum punya prasasti, disuruh buatkan Serat Kekancingan pada ahli sastra. Agar kelak jangan sampai timbul perselisihan, jikalau sudah temurun. Jumlah candi pasareyan raja seperti berikut, mulai dengan Kagenengan. Disebut pertama karena tertua : Tumapel, Kidal, Jajagu, Wedwawedan. Di Tuban, Pikatan, Bakul, Jawa-jawa, Antang Trawulan, Katang Brat dan Jago. Lalu Balitar, Sila Petak, Ahrit, Waleri, Bebeg, Kukap, Lumbang dan Puger. pasareyan rani : Kamal Pandak, Segala, Simping. Sri Ranggapura serta candi Budi Kuncir. Bangunan baru Prajnya Paramita Puri. Di Bayatangu yang baru saja dibangun. Itulah dua puluh tujuh candi raja. Pada Saka tujuh guru candra (1287) bulan Badra. Dijaga petugas atas perintah raja. Diawasi oleh pendeta ahli sastra. Pembesar yang bertugas mengawasi seluruhnya sang Wiradikara.

Orang utama, yang saksama dan tawakal membina semua candi. Setia kepada Sri Paduka, hanya memikirkan kepentingan bersama Segan mengambil keuntungan berapa pun penghasilan candi makam. Desa-desa perdikan ditempatkan di bawah perlindungan Sri Paduka. Darmadyaksa kasewan bertugas membina tempat ziarah dan pemujaan. Darmadyaksa kasogatan disuruh menjaga biara kebudaan. Mahamantri Agung her-haji bertugas memelihara semua pertapan. Desa perdikan Siwa yang bebas dari pajak : biara relung Kunci, Kapulungan Roma, Wwatan, Iswaragreha, Palabdi, Tanjung, Kutalamba, begitu pula Taruna Parhyangan, Kuti Jati, Candi lima, Nilakusuma, Harimandana, Utamasuka Prasada-haji, Sadang, Panggumpulan, Katisanggraha, begitu pula Jayasika. Tak ketinggalan: Spatika, Yang Jayamanalu, Haribawana, Candi Pangkal, Pigit Nyudonta, Katuda, Srangan, Kapukuran, Dayamuka, Kalinandana, Kanigara Rambut, Wuluhan, Kinawung, Sukawijaya, dan lagi Kajaha, demikian pula Campen, Ratimanatasrama, Kula, Kaling, ditambah sebuah lagi Batu Putih.

Desa perdikan kasogatan yang bebas dari pajak : Wipulahara, Kutahaji Janatraya, Rajadanya, Kuwanata, Surayasa, Jarak, Lagundi serta Wadari Wewe Pacekan, Pasaruan, Lemah Surat, Pamanikan, Srangan serta Pangiketan Panghawan, Damalang, Tepasjita, Wanasrama, Jenar, Samudrawela dan Pamulang. Baryang, Amretawardani, Wetiwetih. Kawinayan, Patemon serta Kanuruhan Engtal, Wengker. Banyu Jiken, Batabata. Pagagan, Sibok dan Engtal. Wengker, Banyu Jiken, Batabata. Pagagan, Sibok dan Padurungan. Pindatuha, Telang, Suraba, itulah yang terpenting, sebuah lagi. Sukalila Tak disebut perdikan tambahan seperti Pogara. Kulur, Tangkil dan sebagainya. Selanjutnya disebut berturut desa kebudaan Bajradara : Isanabajra, Naditata, Mukuh, Sambang, Tanjung. Amretasaba Bangbang, Bodimula, Waharu Tampak, serta Puruhan dan Tadara Tidak juga terlangkahi Kumuda. Ratna serta Nadinagara. Wungaiaya, Palandi, Tangkil.

Asahing, Samici serta Acitahen Nairanjana, Wijayawaktra, Mageneng. Pojahan dan Balamasin. Krat, Lemah Tulis, Ratnapangkaya, Panumbangan. serta Kahuripan Ketaki, Telaga Jambala, Jungul ditambah lagi Wisnuwala. Badur, Wirun, Wungkilur. Mananggung, Watukura serta Bajrasana Pajambayan. Salanten, Simapura, Tambak Laleyan, Pilanggu Pohaji, Wangkali, Biru. Lembah, Dalinan, Pangadwan yang terakhir. Itulah desa kebudaan Bajradara yang sudah berprasasti. Desa keresian seperti berikut : Sampud, Rupit dan Pilan Pucangan, Jagadita, Pawitra, masih sebuah lagi Butun. Di situ terbentang taman didirikan lingga dan saluran air. Yang Mulia Mahaguru demiklan sebutan beliau. Yang diserahi tugas menjaga sejak dulu menurut Serat Kekancingan. Selanjutnya desa perdikan tanpa candi, di antaranya yang penting : Bangawan, Tunggal, Sidayatra, Jaya Sidahajeng, Lwah Kali dan Twas. Wasista, Palah, Padar, Siringan, itulah desa perdikan Siwa.

Wangjang, Bajrapura. Wanara, Makiduk, Hanten, Guha dan Jiwa Jumpud. Soba, Pamuntaran, dan Baru, perdikan Buda utama. Kajar, Dana Hanyar, Turas, Jalagiri, Centing, Wekas Wandira, Wandayan. Gatawang : Kulampayan dan Talu, pertapan resi. Desa perdikan Wisnu berserak di Batwan serta Kamangsian Batu Tanggulian. Dakulut, Galuh, Makalaran, itu yang penting Sedang, Medang. Hulun Hyan, Parung, langge, Pasajan, Kelut. Andelmat Paradah, Geneng, Panggawan, sudah sejak lama bebas pajak. Terlewati segala dukuh yang terpencar di seluruh Jawa. Begitu pula asrama tetap yang bercandi serta yang tidak. Yang bercandi menerima bantuan tetap dari Sri Paduka Prabu. Begitu juga dukuh pengawas, tempat belajar upacara.

Telah diteliti sejarah berdirinya segala desa di Jawa. Perdikan candi, tanah pusaka, daerah dewa, biara dan dukuh. Yang berSerat Kekancingan dipertahankan, yang tidak, segera diperintahkan. Pulang kepada dewan desa di hadapan Sang Arya Ranadiraja. Segenap desa sudah diteliti menurut perintah raja Wengker raja Singasari bertitah mendaftar jiwa serta seluk salurannya. Petugas giat menepati perintah, berpegang kepada aturan Segenap penduduk Jawa patuh mengindahkan perintah Sri Paduka Prabu. Semua tata aturan patuh diturut oleh pulau Bali. Candi, asrama, pesanggrahan telah diteliti sejarah tegaknya Pembesar kebudaan Badahulu. Badaha lo Gajah ditugaskan. Membina segenap candi, bekerja rajin dan mencatat semuanya. Perdikan kebudaan Bali seperti berikut, biara Baharu (hanyar). Kadikaranan, Purwanagara, Wiharabahu, Adiraja, Kuturan. Itulah enam kebudaan Bajradara, biara kependetaan. Terlangkahi biara dengan bantuan negara seperti Aryadadi. Berikut candi pasareyan di Bukit Sulang lemah lampung, dan Anyawasuda Tatagatapura, Grehastadara, sangat mashur, dibangun atas Serat Kekancingan. Pada tahun Saka 1260 oleh Sri Paduka Jiwana.

Yang memberkahi tanahnya, membangun candinya : upasaka wreda mentri. Semua perdikan dengan bukti prasasti dibiarkan tetap berdiri. Terjaga dan terlindungi segala bangunan setiap orang budiman. Demikianlah tabiat raja utama, berjaya, berkuasa, perkasa. Semoga kelak para raja sudi membina semua bangunan suci. Maksudnya agar musnah semua durjana dari muka bumi laladan. Itulah tujuan melintas, menelusur dusun-dusun sampai di tepi laut. Menenteramkan hati pertapa, yang rela tinggal di pantai, gunung dan hutan. Lega bertapa brata dan bersamadi demi kesejahteraan negara. Besarlah minat Sri Paduka untuk tegaknya tripaksa. Tentang Serat Kekancingan beliau besikap agar tetap diindahkan. Begitu pula tentang pengeluaran undang-undang, supaya laku utama, tata gila dan adat-tutur diperhatikan. Itulah sebabnya sang caturdwija mengejar laku utama. Resi, Wipra, pendeta Siwa Buda teguh mengindahkan tutur.

Catur asrama terutama catur basma tunduk rungkup tekun melakukan tapa brata, rajin mempelajari upacara. Semua anggota empat kasta teguh mengindahkan ajaran. Para Mahamantri Agung dan arya pandai membina urusan negara. Para putri dan satria berlaku sopan, berhati teguh. Waisya dan sudra dengan gembira menepati tugas darmanya. Empat kasta yang lahir sesuai dengan keinginan. Hyang Maha Tinggi Konon tunduk rungkup kepada kuasa dan perindah Sri Paduka Teguh tingkah tabiatnya, juga ketiga golongan terbawah. Gandara, Mleca dan Tuca mencoba mencabut cacad-cacadnya. Demikianlah tanah Jawa pada zaman pemerintahan Sri Nata. Penegakan bangunan-bangunan suci membuat gembira rakyat Sri Paduka menjadi teladan di dalam menjalankan enam darma. Para ibu kagum memandang, setuju dengan tingkah laku Sang Prabu. Sri Nata Singasari membuka ladang luas di daerah Sagala. Sri Nata Wengker membuka hutan Surabana, Pasuruan, Pajang.

Mendirikan perdikan Buda di Rawi, Locanapura, Kapulungan Sri Paduka sendiri membuka ladang Watsari di Tigawangi. Semua Mahamantri Agung mengenyam tanah palenggahan yang cukup luas Candi, biara dan lingga utama dibangun tak ada putusnya. Sebagai tanda bakti kepada dewa, leluhur, para pendeta. Memang benar budi luhur tertabur mengikuti jejak Sri Nata. Demikianlah keluhuran Sri Paduka ekanata di Wilwatikta. Terpuji bagaikan bulan di musim gugur, terlalu indah terpandang Durjana laksana tunjung merah, sujana seperti teratai putih. Abdi, harta, kereta, gajah, kuda berlimpah-limpah bagai samudera. Bertambah mashur keluhuran pulau Jawa di seluruh jagad raya. Hanya Jambudwipa dan pulau Jawa yang disebut negara utama Banyak pujangga dan dyaksa serta para upapati, tujuh jumlahnya Panji Jiwalekan dan Tengara yang meronjol bijak di dalam kerja. Mashurlah nama pendeta Brahmaraja bagai pujangga, ahli tutur.

Putus dalam tarka, sempurna dalam seni kata serta ilmu naya Hyang brahmana, sopan, suci, ahli weda menjalankan nam laku utama Batara Wisnu dengan cipta dan mentera membuat sejahtera negara. Itulah sebabnya berduyun-duyun tamu asing datang berkunjung Dari Jambudwipa, Kamboja, Cina, Yamana, Campa dan Karnataka Goda serta Siam mengarungi lautan bersama para pedagang Resi dan pendeta, semua merasa puas, menetap dengan senang. Tiap bulan Palguna Sri Nata dihormat di seluruh negara. Berdesak-desak para pembesar, empat penjuru, para prabot desa Hakim dan pembantunya, bahkan pun dari Bali mengaturkan upeti. Pekan penuh sesak pembeli, penjual, barang terhampar di dasaran. Berputar keliling gamelan dalam tanduan diarak rakyat ramai Tiap bertabuh tujuh kali, pembawa sajian menghadap ke pura Korban api, ucapan mantra dilakukan para pendeta Siwa-Buda. Mulai tanggal delapan bulan petang demi keselamatan Sri Paduka.

Tersebut pada tanggal empatbelas bulan petang. Sri Paduka berkirap. Selama kirap keliling kota busana. Sri Paduka serba kencana. Ditatatng jempana kencana, panjang berarak beranut runtun. Mahamantri Agung, sarjana, pendeta beriring dalam pakaian seragam. Mengguntur gaung gong dan salung, disambut terompet meriah sahut-menyahut Bergerak barisan pujangga menampung beliau dengan puja sloka. Gubahan kawi raja dari pelbagai kota dari seluruh Jawa. Tanda bukti Sri Paduka perwira bagai Rama, mulia bagai Sri Kresna. Telah naik Sri Paduka di takhta mutu-manikam, bergebar pancar sinar. Seolah-olah Hyang Trimurti datang mengucapkan puji astuti. Yang nampak, semua serba mulia, sebab Sri Paduka memang raja agung. Serupa jelmaan. Sang Sudodanaputra dari Jina bawana. Sri nata Pajang dengan sang permaisuri berjalan paling muka. Lepas dari singasana yang diarak pengiring terlalu banyak.

Mahamantri Agung Pajang dan Paguhan serta pengiring jadi satu kelompok. Ribuan jumlahnya, berpakaian seragam membawa panji dan tunggul. raja Lasem dengan permaisuri serta pengiring di belakangnya. Lalu raja Kediri dengan permaisuri serta Mahamantri Agung dan tentara. Berikut maharani Jiwana dengan suami dan para pengiring. Sebagai penutup Sri Paduka dan para pembesar seluruh Jawa. Penuh berdesak sesak para penonton ribut berebut tempat. Di tepi jalan kereta dan pedati berjajar rapat memanjang. Tiap rumah mengibarkan bendera, dan panggung membujur sangat panjang. Penuh sesak wanita tua muda, berjejal berimpit-impitan. Rindu sendu hatinya seperti baru pertama kali menonton. Terlangkahi peristiwa pagi, waktu Baginda mendaki setinggil. Pendeta menghaturkan kendi berisi air suci di dulang berukir. Mahamantri Agung serta pembesar tampil ke muka menyembah bersama-sama. Tanggal satu bulan Caitra bala tentara berkumpul bertemu muka. Mahamantri Agung, perwira, para arya dan pembantu raja semua hadir.

Kepala daerah, ketua desa, para tamu dari luar kota. Begitu pula para kesatria, pendeta dan brahmana utama. Maksud pertemuan agar para warga mengelakkan watak jahat. Tetapi menganut ajaran raja Kapa Kapa, dibaca tiap Caitra. Menghindari tabiat jahat, seperti suka mengambil milik orang. Memiliki harta benda dewa, demi keselamatan masyarakat. Dua hari kemudian berlangsung perayaan besar. Di utara kota terbentang lapangan bernama Bubat. Sering dikunjungi Sri Paduka, naik tandu bersudut Singa. Di arak abdi berjalan, membuat kagum tiap orang. Bubat adalah lapangan luas lebar dan rata. Membentang ke timur setengah krosa sampai jalan raya. Dan setengah krosa ke utara bertemu.tebing sungai. Dikelilingi bangunan Mahamantri Agung di dalam kelompok. Menjulang sangat tinggi bangunan besar di tengah padang. Tiangnya penuh berukir dengan isi dongengan parwa. Dekat di sebelah baratnya bangunan serupa istana.

Tempat menampung Sri Paduka di panggung pada bulan Caitra. Panggung berjajar membujur ke utara menghadap barat. Bagian utara dan selatan untuk raja dan arya. Para Mahamantri Agung dan dyaksa duduk teratur menghadap timur. Dengan pemandangan bebas luas sepanjang jalan raya. Di situlah Sri Paduka memberi rakyat santapan mata. Pertunjukan perang tanding, perang pukul. desuk-mendesuk Perang keris, adu tinju tarik tambang, menggembirakan. Sampai tiga empat hari lamanya baharu selesai. Seberangkat Sri Paduka. sepi lagi, panggungnya dibongkar. Segala perlombaan bubar, rakyat pulang bergembira. Pada Caitra bulan petang Sri Paduka menjgmu para pemenang. Yang pulang menggondol pelbagai hadiah bahan pakaian. Segenap ketua desa dan wadana tetap tinggal, paginya mereka. Dipimpin Arya Ranadikara menghadap Sri Paduka minta diri di pura Bersama Arya Mahadikara, kepala pancatanda dan padelegan. Sri Paduka duduk di atas takhta, dihadap para abdi dan pembesar.

Berkatalah Sri nata Wengker di hadapan para pembesar dan wedana : “Wahai, tunjukkan cinta serta setya baktimu kepada Sri Paduka Prabu Cintailah rakyat bawahanmu dan berusahalah memajukan dusunmu Jembatan, jalan raya, beringin, bangunan dan candi supaya dibina. Terutama dataran tinggi dan sawah, agar tetap subur, peliharalah Perhatikan tanah rakyat jangan sampai jatuh di tangan petani besar. Agar penduduk jangan sampai terusir dan mengungsi ke desa tetangga. Tepati segala peraturan untuk membuat desa bertambah besar. Sri nata Kerta Wardana setuju dengan anjuran memperbesar desa. Harap dicatat nama penjahat dan pelanggaran setiap akhir bulan. Bantu pemeriksaan tempat durjana terutama pelanggar susila.

Agar bertambah kekayaan Sri Paduka demi kesejahteraan negara. Kemudian bersabda Sri Baginda Wilwatikta memberi anjuran : “Para budiman yang berkunjung kemari, tidak boleh dihalang-halangi. Rajakarya terutama bea-cukai, pelawang supaya dilunasi. Jamuan kepada para tetamu budiman supaya diatur pantas. Undang-undang sejak pemerintahan ibunda harus ditaati. Hidangan makanan sepanjang hari harus dimasak pagi-pagi. Jika ada tamu loba tamak mengambil makanan, merugikan. Biar mengambilnya, tetapi laporkan namanya kepada saya. Negara dan desa berhubungan rapat seperti singa dan hutan. Jika desa rusak, negara akan kekurangan bahan makanan. Kalau tidak ada tentara, negara lain mudah menyerang kita. Karenanya peliharalah keduanya, itu perintah saya “

Begitu perintah Sri Paduka kepada wadana, yang tunduk mengangguk Sebagai tanda mereka sanggup mengindahkan perintah beliau. Mahamantri Agung upapati serta para pembesar menghadap bersama. Tepat pukul tiga mereka berkumpul untuk bersantap bersama. Bangunan sebelah timur laut telah dihiasi gilang cemerlang. Di tiga ruang para wadana duduk teratur menganut sudut. Santapan sedap mulai dihidangkan di atas dulang serba emas Segera deretan depan berhadap-hadapan di muka Sri Paduka. Santapan terdiri dari daging kambing, kerbau, burung, rusa, madu, Ikan, telur, domba menurut adat agama dari zaman purba. Makanan pantangan : daging anjing, cacing, tikus, keledai dan katak. Jika dilanggar mengakibatkan hinaan musuh, mati dan noda. Dihidangkan santapan untuk orang banyak. Makanan serba banyak serta serba sedap. Berbagai-bagai ikan laut dan ikan tambak. Berderap cepat datang menurut acara. Daging katak, cacing, keledai, tikus, anjing. Hanya dihidangkan kepada para penggemar. Karena asalnya dari pelbagai desa.

Mereka diberi kegemaran, biar puas. Mengalir pelbagai minuman keres segar. Tuak nyiur, tal, arak kilang, brem, tuak rumbya. Itulah hidangan yang utama. Wadahnya emas berbentuk aneka ragam. Porong dan guci berdiri terpencar-pencar. Berisi aneka minuman keras dari aneka bahan. Beredar putar seperti air yang mengelir. Yang gemar minum sampai muntah serta mabuk. Meluap jamuan Sri Paduka dalam pesta. Hidangan mengalir menghampiri tetamu. Dengan sabar segala sikap dizinkan. Penyombong, pemabuk jadi buah gelak tawa. Merdu merayu nyanyian para biduan. Melagukan puji-pujian Sri Paduka. Makin deras peminum melepaskan nafsu. Habis lalu waktu, berhenti gelak gurau.

Pembesar daerah angin membadut dengan para lurah. Diikuti lagu, sambil bertandak memilih pasangan. Seolah tingkahnya menarik gelak, menggelikan pandangan. Itulah sebabnya mereka memperoleh hadiah kain. Disuruh menghadap Sri Paduka, diajak minum bersama. Mahamantri Agung upapati berurut mengelir menyanyi. Nyanyian Menghuri Kandamuhi dapat bersorak pujian. Sri Paduka berdiri, mengimbangi ikut melaras lagu. Tercengang dan terharu hadirin mendengar suar merdu. Semerebak meriah bagai gelak merak di dahan kayu. Seperti madu bercampur dengan gula terlalu sedap manis. Resap menghalu kalbu bagai desiran buluh perindu. Arya Ranadikara lupa bahwa Sri Paduka berlagu. Bersama Arya Ranadikara mendadak berteriak. Bahwa para pembesar ingin belia menari topeng. “Ya!” jawab beliau, segera masuk untuk persiapan.

Sri Kerta Wardana tampil kedepan menari panjak. Bergegas lekas panggung di siapkan ditengah mandapa. Sang permaisuri berhias jamang laras menyanyikan lagu. Luk suaranya mengharu rindu, tinglahnya memikat hati. Bubar mereka itu ketika Sri Paduka keluar. Lagu rayuan Sri Paduka bergetar menghanyutkan rasa. Diiringkan rayuan sang permaisuri rapi rupendah. Resap meremuk rasa, merasuk tulang sungsum pendengar. Sri Paduka warnawan telah mengenakan tampuk topeng. Delapan pengirignya di belakang, bagus, bergs, pantas. Keturunan Arya, bijak cerdas, sopan tingkah lakunya. Itulah sebabnya benyolannya selalu kena. Tari sembilan orang telah dimulai dengan banyolan. Gelak tawa terus menerus, sampai perut kaku beku. Babak yang sedih meraih tangis, mengaduk haru dan rindu. Tepat mengenai sasaran, menghanyutkan hati penonton. Silam matahari waktu lingsir, perayaan berakhir. Para pembesar meminta diri mencium duli paduka. Katanya :”lenyap duka oleh suka, hilang dari bumi!”. Terlangkahi pujian Sri Paduka waktu masuk istana.

Demikianlah suka mulia Sri Paduka Prabu di pura, tercapai segala cita. Terang Sri Paduka sangat memperhatikan kesejahteraan rakyat dan negara. Meskipun masih muda dengan suka rela berlaku bagai titisan Buda. Dengan laku utama beliaumemadamkan api kejahatan durjana. Terus membumbung ke angkasa kemashuran dan keperwiraan Sri Paduka. Sungguh beliau titisan Batara Girinata untuk menjaga buana. Hilang dosanya orang yang dipandang, dan musnah letanya abdi yang disapa. Itulah sebabnya keluhuran beliau mashur terpuji di tiga jagad. Semua orang tinggi, sedang, rendah menuturkan kata-kata pujian. Serta berdo’a agar Sri Paduka tetap subur bagai gunung tempat berlindung. Berusia panjang sebagai bulan dan matahari cemerlang menerangi bumi.

Semua pendeta dari tanah asing menggubah pujian Sri Paduka. Sang pendeta Budaditya menggubah rangkaian seloka Bogawali. Tempat tumpah darahnya Kancipuri di Sadwihara di Jambudwipa. Brahmana Sri Mutali Saherdaya menggubah pujian seloka indah. Begitu pula para pendeta di Jawa, pujangga, sarjana sastra. Bersama-sama merumpaka seloka puja sastra untuk nyanyian. Yang terpenting puja sastra di prasasti, gubahan upapati Sudarma. Berupa kakawin, hanya boleh diperdengarkan di dalam istana. Mendengar pujian para pujangga pura bergetar mencakar udara. Empu Prapanca bangkit turut memuji Sri Paduka meski tak akan sampai pura.

Maksud pujiannya, agar Sri Paduka gembira jika mendengar gubahannya. Berdoa demi kesejahteraan negara, terutama Sri Paduka dan rakyat. Tahun Saka 1287 bulan Aswina hari purnama. Siaplah kakawin pujaan tentang perjalanan jaya keliling negara. Segenap desa tersusun dalam rangkaian, pantas disebut Desa Warnana. Dengan maksud, agar Sri Paduka ingat jika membaca hikmat kalimat. Sia-sia lama bertekun menggubah kakawin menyurat di atas daun lontar.

Yang pertama “Tahun Saka”, yang kedua “Lambang” kemudian “Parwasagara”. Berikut yang keempat “Bismacarana”, akhirnya cerita “Sugataparwa”. Lambang dan Tahun Saka masih akan diteruskan, sebab memang belum siap. Meskipun tidak semahir para pujangga di dalam menggubah kakawin. Terdorong cinta bakti kepada Sri Paduka, ikut membuat puja sastra berupa karya kakawin, sederhana tentang rangkaian sejarah desa. Apa boleh buat harus berkorban rasa, pasti akan ditertawakan.

Nasib badan dihina oleh para bangsawan, canggung tinggal di dusun. Hati gundah kurang senang, sedih, rugi tidak mendengar ujar manis. Teman karib dan orang budiman meninggalkan tanpa belas kasihan. Apa gunanya mengenal ajaran kasih, jika tidak diamalkan? Karena kemewahan berlimpah, tidak ada minat untuk beramal. Buta, tuli, tak nampak sinar memancar dalam kesedihan, kesepian. Seyogyanya ajaran sang Begawan diresapkan bagai sepegangan. Mengharapkan kasih yang tak kunjung datang, akan membawa mati muda. Segera bertapa brata di lereng gunung, masuk ke dalam hutan. Membuat rumah dan tempat persajian di tempat sepi dan bertapa. Halaman rumah ditanami pohon kamala, asana, tinggi-tinggi. Memang Kamalasana nama dukuhnya sudah sejak lama dikenal.

Prapanca itu pra lima buah. Cirinya: cakapnya lucu. Pipinya sembab, matanya ngeliyap. Gelaknya terbahak-bahak. Terlalu kurang ajar, tidak pantas ditiru. Bodoh, tak menurut ajaran tutur. Carilah pimpinan yang baik dalam tatwa. Pantasnya ia dipukul berulang kali. Ingin menyamai Empu Winada. Mengumpulkan harta benda. Akhirnya hidup sengsara. Tapi tetap tinggal tenang. Winada mengejar jasa. Tanpa ragu wang dibagi. Terus bertapa berata. Mendapat pimpinan hidup. Sungguh handal dalam yuda. Yudanya belum selesai. Ingin mencapai nirwana. Jadi pahlawan pertapa.

Beratlah bagi para pujangga menyamai Winada, bertekun dalam tapa. Membalas dengan cinta kasih perbuatan mereka yang senang menghina orang-orang yang puas dalam ketetnangan dan menjauhkan diri dari segala tingkah, menjauhkan diri dari kesukaan dan kewibawaan dengan harapan akan memperoleh faedah. Segan meniru perbuatan mereka yang dicacad dan dicela di dalam pura.[Aan der Bougiese].

Pengikut

Entri Populer