Senin, 07 September 2009

"Laskar Perempuan"

Pesan Damai dari Konggres Pejuang Ham 17-20 Maret 2009

Oleh: Em. Lukman Hakim (JATAM)



Malam itu suasana kolam renang Wisma Makara Universitas Indonesia Depok, berbeda dari biasanya. Sentuhan artistik tangan-tangan terampil Teater Sahid UIN Syarif Hidayatullah, membuat sauasana begitu mempesona. Baliho berukuran dua kaki orang dewasa bertuliskan sejumlah slogan perjuangan HAM tertata rancak, memanjang disudut sebelah kanan, seiring dengan lampu warna-warni menyiram redup, menambah kesahduhan malam itu. Disudut kiri nampak sejumlah wajah korban pelanggaran HAM terpahat di atas topeng putih pualam, hanya gurat ‘khas’ mimik wajah yang membedakan. Menggelayut di kawat-kawat kecil, membentuk kerangka tak beraturan, namun tetap estetik. Sementara di atasnya, seragam kebesaran Hakim Pengadilan, lengkap dengan palu sidang warna merah, berdiri dengan pongah.
Ratusan kursi merah marun, berbaris rapi membentuk setengah lingkaran, seiring dengan puluhan lilin kecil, dalam gelas kaca, bertebaran dibibir oval kolam renang. Sementara panggung mini berlatar layar putih terpampang di depan, dengan puluhan payung serba hitam di dibelakangnya.Sepintas tak ada aktivitas, hanya sesekali terdengar gemercik air kolam, kriet kursi yang ditarik peserta yang baru saja datang, perbincangan yang terdengar lirih, dan sesekali bunyi cheksoud menggema. Susana malam itu benar-benar tenang, damai, dan penuh cinta. Tak berapa lama, layaknya Dedy Corbuse, group musik, yang belakangan saya ketahui berasal dari Teater Kita Universitas Bung Karno, tiba-tiba sudah berada di atas panggung, seiring lampu sorot, terang, mengguyur mereka. Dengan kostum serba hitam, empat personel teater Kita memainkan seruling khas Sunda, bongo, dan sejumlah gitar, membuka acara dengan satu tembang yang menyerukan cinta kasih antar sesama “Masibu Potubay” lagu khas Sulawesi Selatan. “Kalaulah tenang negeri kita, tenanglah-tenang hidup kita…..” (Rabu 18/3/09) Begitulah penggalan lirik lagu yang sudah digubah ke dalam bahasa Ibu.Melawan Dengan CintaNyanyian cinta itu adalah musik pembuka dari kisah ekspresi perempuan tangguh pejuang HAM, yang selama hidupnya melayani kekerasan dengan cinta, dan berhasil menaklukkanya. Layaknya ‘Laskar Perempuan’ di masa kerajaan Mataram, kegigihan dan perjuangan mereka membuat dunia terpesona. Mungkin ini adalah julukan tepat bagi perempuan-peruan hebat, yang kisahnya akan dirangkum dalam acara bertajuk “Kisah Inspiratif Para Pejuang HAM”. Lima orang dari daerah berbeda dipanggil secara berurutan, maju ke deret kursi disebelah kanan panggung; Nuzul seorang buruh perempuan bersama buruh lain berhasil menduduki pabrik yang sebelumnya melakukan pemberhentian sepihak ribuan karyawannya. Julius Pai yang akan mengisahkan kegigihan dan cara unik perempuan Molo melawan perusahaan tambang, Olga Davista Amar korban kekerasan dan pelecehan di Timor Laste, Amirullah Sulawesi Selatan, dan Suci Wati istri almarhum Cak Munir. “Sebentar lagi kita akan mendengarkan kisah penuh inspirasi dari para pejuang HAM. Menangis dan tertawa adalah ekspresi bebas manusia. Jika malam ini kita saksikan mereka menangis, bukan berarti mereka cengeng. Jika tawa menggelagak, bukan berarti mereka bangga” Teriak pemandu acara, Sinnal Blegur (25) dari Ikatan Orang Hilang Indonesia (Ikohi), memulai acara. Kisah luar biasa itu dimulai dari cerita pembentukan Federasi Serikat Buruh (FSB) di PT. Istana Mognalia Tama Jakarta Utara pada Juni 2006. Sejak itu berbondong-bondong buruh perusahaan yang bergerak dibidang garmen itu turut bergabung. Acara perdana yang terbilang cukup besar, dihelat bertepatan dengan perayaan May Day (1 Mei) yang biasa diperingati sebagai Hari Buruh Internasional, untuk mengenang keberhasilan buruh di Amerika Serikat menuntut “Tiga Delapan” yakni, delapan jam kerja, delapan jam santai, dan delapan jam tidur. Sejak itu menurut Nuzul (29), intimidasi terhadap buruh kerap dilakukan perusahaan. Anggota FSB yang hamil justru diperintahkan untuk kerja dilantai dua, sementara karyawan lain yang tidak tergabung dalam serikat buruh, dipekerjakan dilantai dasar. Ratusan buruh yang ikut aksi, bahkan tak diberi pekerjaan. Mereka dipaksa untuk berdiam di Kantin selama beberapa hari. “Puncaknya terjadi pada Juni 2007, saat kita kembali dari istirahat makan siang. Tiba-tiba di pintu gerbang pabrik terbentang sepanduk bertuliskan, Perusahaan Ditutup. Padahal sebelumnya kita kerja sampai lembur. Aneh, dan tak masuk akal” kenang NuzulPenutupan pabrik secara sepihak itu memicu demonstrasi besar-besaran. Sekitar 1100 buruh sontak melakukan aksi dadakan. Disusul dengan sejumlah aksi lain pada hari berikutnya. Menanggapi aksi masa yang terus menghebat, perusahaan mengerahkan puluhan preman berambut cepak dan berbadan besar. Personel berseragam mulai dari polisi dan angkatan darat turut ke lapangan. Pengamanan ekstra ketat itu, sukses melunakkan tuntutan buruh. Sebagain besar buruh menerima konsekwensi apapun yang ditetapkan perusahaan. “Dari 1100 buruh, hanya 75 perempuan dan 2 orang laki-laki yang bertahan. Sejak putusan pengadilan menyatakan buruh menang. Kami terus menduduki perusahaan. Dan sampai sekarang masih kami lakukan” pungkasnya.Disituasi berbeda, Olga Davista Amara (37), salah satu perempuan yang hanya menginginkan tanah kelahirannya terbebas dari penindasan, bersama sejumlah perempuan lain justru ditangkap, dipukul, ditendang, diperlukakun seperti budak dan diperkosa. “Kami di bawa kesebuah gedung sekolah selama beberapa minggu. Disitu kami disiksa dan diperkosa. Terus kami di bawa ke Penjara di Kota Naro. Disana juga kami diperlakukan sama” kenang Olga dengan cucuran air mata.Sepintas tak ada informasi apapun menggumam dari bibir perempuan yang mengenakan pakaiaan adat Timor serba kuning ini. Lidahnya serasa keluh, seolah ada trauma hebat yang terus menekan jiwanya. Namun yang pasti, peristiwa itu terjadi pada tahun 1989. Dengan bantuan seorang Pastur, tujuh bulan kemudian, Olga dan sejumlah perempuan lain bisa kembali ke keluarganya. Suasana kolam tampak semakin hening. Air mata dan kalimat terbata-bata Olga Davista Amara seolah menghipnotis se isi ruangan. Mengaduk-aduk, dan membiarkan peserta konggres berkecamuk dengan alam bawah sadarnya. Untung saja Lisa Litarghi (29) segera tanggap, dan sejurus kemudian tampil membacakan monolog, kisah seorang perempuan yang menjalani hidupnya setelah mengalami kasus Inces, berjudul “Ipoh” yang ditulis penyair Bandung, Artur S Nalan, pada 12 November 1989. Monolog itu kocak namun sesaat kemudian menghentak. Menggiring peserta untuk menggelakkan tawa, sekalipun tiba-tiba mengajak peserta menangis sesenggukan, sepilu kisah pemerkosaan perempuan Timor Leste. Mungkin tahun bersamaan, antara pembuatan karya itu dengan tragedi Olga Davista Amara “1989” bukan suatu kebetulan. Sebab daun kering dihutanpun, tak akan pernah jatuh kecuali dengan izin Tuhan, kata penyair D Zawawi Imran, “Si Clurit Emas” yang terkenal dengan puisinya berjudul “Ibu”. Tak berapa lama, Suciwati (39), istri almarhum Cak Munir mulai menuturkan pengalamannya sebagai seorang Ibu, Perempuan, dan istri Pejuang Ham. Suci mengalami masa-masa pahit semasa hidupnya. Berbagai rencana pembunuhan terhadap suaminya dilakukan berulang-ulang. Dikantor imparsial, rumahnya yang kerap dilempari Bom Molotov, dan rumah orang tua Munir di Batu Malang yang kerap di teror. Dari sinilah ketegaran dan insting istri seorang pejuang HAM ter-asah. Setidaknya itu terbukti menjelang tragedi pembunuhan Munir pada 7 November 2004. “Dua hari sebelum keberangkatan almarhum, Polycarpus menelpon. Dan kebetulan saya yang mengangkat. Dia menanyakan kapan suami saya berangkat. Entah mengapa, perasaan saya waktu itu tiba-tiba tidak enak” kenang SuciKekaludan Suci waktu itu ternyata petunjuk dari Tuhan. Dari telpon Direktur Garuda itu, belakangan terungkap bahwa Polycarpus memiliki hubungan khusus dengan Deputi IV Badan Intelgen Negara, Muchdi PR, yang kerap merencanakan pembunuhan terhadap Munir. “telpon Poly yang tak lebih dari dua menit itu ternyata penting” pungkasnya.Sementara itu pria senja penuh semangat, Amirullah (68) dari Organisasi Tani Buruh dan Nelayan (Ortabun) Sulawesi Selatan mengisahkan kegigihan perempuan yang berada digarda depan saat Brimob yang berpakian ninja, ratusan polisi dan Militer berusaha membubarkan masa, yang melakukan reklaiming tanah kali kedua pada Tahun 2001.Menurut Amirullah Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan Belanda diareal perkebunan Kelapa seluas 200 hektar itu berakhir pada 1979. Setahun kemudian pemerintah daerah mengajak masyarakat untuk mengolah lahan itu. Dengan penuh suka cita petani desa sekitar menyambut baik ajakan pemerintah, menanaminya, dan memanfaatkan untuk bertahan hidup. “Kehidupan kami waktu itu demikian tentram” kenang Amirullah.Pada pertengahan 1997, tiba-tiba sebuah perusahaan perkebunan Kelapa, PT. Sari Tama Abadi memaksa rakyat untuk mengosongkan kawasan itu. Mereka mengklaim telah mendapatkan HGU baru dari pemerintah pusat. Dimasa Orde Baru yang demikian represif, keberanian rakyat menjadi terpasung.Era reformasi memberi semangat baru untuk melakukan reklaiming kembali. Ribuan pohon kelapa perusahaan dimusnahkan, diganti dengan tanaman pertanian yang lebih dibutuhkan rakyat. Masa itu ternyata tak bertahan lama. Selepas pemerintahan Abdurrakhman Wahid dilengserkan kudeta parlemen pada 2001, perusahaan itu kembali berusaha menguasai tanah. “Saat itulah ketegaran perempaun benar-benar teruji. Ratusan kaum ibu berada di baris paling depan. Mereka mendekat ke truk Brimob yang baru saja datang. Merampas kunci mobil, dan memaksa 27 personel Brimob untuk keluar, mereka disandera Ibu-ibu sepanjang hari” pungkasnya.Tidak berbeda dengan kisah hebat laskar perempuan Sulsel. Para perempuan Molo Nusa Tenggra Timur (NTT), bahkan berhasil mengusir perusahaan pertambangan Marmer, PT. Teja Sekawan, yang akan mengeruk gunung Fatuliki desa Kwanwel, Kecamatan Fatumnasi, Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT. “Pada minggu kedua bulan Maret 2005, kami melakukan pendudukan di sekitar 30 meter dari lokasi perusahaan. Tak kurang dari 3000 masa hadir waktu itu. Kami mendirikan tenda selama seminggu” ungkap Julius Pai (31), salah satu organizer OAT yang inten melakukan advokasi di 13 desa sekitar. Aksi itu hanya dimaksudkan untuk menggagalkan pertambangan Marmer. Tak ada perusakan sedikitpun. Sejumlah alat berat perusahaan yang sudah siap untuk mengeruk tak diganggu, puluhan karyawan yang mengontrak rumah salah seorang warga, Taklaleh, juga dijamin keamannya. Menurut Julius, satu hal yang disyaratkan masa aksi. Tak boleh ada mesin yang dihidupkan. “Pernah suatu hari puluhan karyawan yang dijaga sejumlah preman menghidupkan mesin. Mereka akan memulai pengeboran. Mendengar itu, Mamak-mamak (Ibu-ibu, red) berlarian, mereka berteriak-teriak menghentikan. Tapi tak hiraukan. Akhirnya Mamak-mamak itu nekad tidur dibebatuan yang akan dibor. Sekalipun diancam dengan bor, tetap saja Mamak-mamak itu tiduran. Malah jumlahnya bertambah banyak ” ungkapnya. Tepat lima hari masa pendudukan. Sekitar 200 personel aparat keamanan mulai dari Dalmas, Angkatan Darat, dan Polisi bersenjata lengkap, dan sekitar 70 pria berbadan tegap berambut cepak, yang belakangan diketahui adalah preman perusahaan, datang untuk membubarkan aksi pendudukan itu. “Tapi waktu itu kita sudah siap. Karena banyak mata-mata yang kami sebar sepanjang jalan itu. Sekitar 770 Mamak-mamak duduk berjajar memenuhi jalan, sementara sekitar 100 laki-laki berpakaian Hansip dari 13 desa berdiri dibelakangnya. Tapi ribuan laki-laki sudah bersiap-siap disemak-semak dekat Mamak-mamak tadi. Waktu aparat datang, mereka kebingungan. Awalnya mereka memaksa Mamak-mamak minggir, dan sejumlah regu tembak sudah-bersiap-siap. Tapi Mamak-mamak itu malah mendekat. Akhirnya aparatpun melunak” tegasnya.Cara khas perjuangan perempuan Molo yang dikisahkan bersama empat cerita lain di atas, telah memberi inspirasi tersendiri bagi perjuangan HAM di Indonesia. Melalui keberanian dan cara unik penuh cinta, kebengisan aparat dan keangkuhan pemilik modal, akhirnya dapat ditundukkan. Inilah pesan damai dari lima kisah Laskar Perempuan, yang layak disemai diladang-ladang perjuangan penegakkan HAM. Semoga!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut

Entri Populer